Rabu, 12 Desember 2012

Pengemis itu Mengaji di Makam Mbah Sholeh



Oleh : Vicky Vendy
Guru SMA “Terpadu” YPP Nurul Huda


Hiruk pikuk suasana minggu pagi di Ampel. Kalau sudah weekend pasti banyak sekali orang yang berjejal-jejal memenuhi tempat ini. Kota Surabaya, dengan wahana wisata religinya, salah satunya Makam sunan Ampel seakan menjadi magnet yang mampu menyedot banyak orang. Pengunjung yang datang ke Ampel pun dari berbagai daerah. Bahkan, bukan cuma pengunjungnya saja yang berasal dari berbagai kota, para pengemis yang bertebaran di sana pun tak jarang juga berasal dari luar kota yang juga tergugah untuk mengais sedekah di kota pahlawan.

Di pagi menjelang siang itu, aku duduk-duduk di sebelah utara masjid ampel, dekat makam Mbah Sholeh. Mbah Sholeh yang juga salah seorang murid Sunan Ampel tersebut alkisah diriwayatkan kalau beliau termasuk leluhur dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Ulama’ tersohor penyebar agama islam di pulau garam.

Dari dalam masjid aku melihat-lihat. Belum lama duduk di sana, ada seorang pengemis laki-laki datang dari balik kerumunan para peziarah. Dia sudah tua renta, berpakaian lusuh dan memiliki dua tangan yang tak lagi utuh. Sejurus kemudian, pengemis itu mengambil mushaf dan duduk bersila dekat makam. Tampak dirinya membuka mushaf perlahan-lahan dan mulai mengaji. Terlihat agak kerepotan baginya ketika harus membuka lembar demi lembar mushaf Al-Qur’an. Namun, kesulitan itu tampaknya tidak menghalanginya untuk tetap larut melantunkan ayat-ayat suci.

Kurang lebih 30 menit lamanya dia mengaji, ketika hendak menutup mushaf, datang mendekat seorang anak kecil untuk memberikan uang padanya, tak lama kemudian seorang laki-laki paruh baya pun ikut mendekat dan bersedekah padanya. Begitu pengemis tersebut menutup mushaf dan berjalan untuk meletakkan kembali Al-Quran di rak, ada lagi seorang bapak yang menghampiri, juga menyelipkan rupiah padanya. Melihat bapak tersebut yang bersedekah kepada si pengemis, serentak tanpa dikomando rombongan ibu-ibu peziarah yang entah berasal dari mana, yang sedari tadi juga mengaji di samping makam, tiba-tiba ikut tergesa-gesa membuka dompetnya dan segera bergerak mendekati pengemis tersebut untuk menyerahkan sedekah.

Memang benar apa kato Plato, seorang filsuf dari Yunani yang mengatakan, “Good actions give strength to ourselves and inspire good actions in others.” Tindakan baik itu akan memberikan kekuatan kepada orang yang melakukan dan menginspirasi orang lain untuk juga berbuat baik. Dengan melakukan perbuatan baik, orang lain akan melihatnya dan akan terinspirasi untuk melakukan hal yang sama.

Hal tersebut sepertinya juga berlaku pada kejadian di pagi ini. Ada hal yang berbeda. Sementara di waktu yang bersamaan pengemis-pengemis yang lain berdiri berjejeran mengharap kucuran sedekah dari para peziarah, pengemis yang satu ini malah memilih untuk mengaji, tanpa meminta-minta namun tetap mendapatkan guyuran sedekah. Apa yang pengemis itu lakukan turut mengundang simpati dari para peziarah. Satu orang bersedekah, yang lain pun akhirnya ikut bersedekah.

Betapa berharganya sedekah tersebut bagi pengemis, termasuk juga orang-orang lain yang akan mendapatkan manfaat secara tidak langsung. Kalau kata ippho santosa tentang sedekah, beliau mengatakan bahwa sedekah itu bisa menggerakkan roda ekonomi, contohnya begini, misalkan kita memberikan sedekah ke pengemis, kemudian pengemis itu membeli nasi dari uang sedekah kita, otomatis si penjual nasi mendapatkan pembeli (yaitu pengemis), si penjual nasi membeli beras, sayur dan lauknya di pasar, pedagang di pasar ikut kebagian rejeki, terus berlanjut kepada petani yang menanam padi, penjual pupuk, pabrik pupuk dan seterusnya dan seterusnya. tidak peduli ketika bersedekah itu si pemberi sedekah ikhlas atau tidak.

Bapak ekonomi islam, Ibnu Khaldun, bahkan memperkenalkan istilah produk seribu orang, yakni bahwa dalam setiap benda yang kita miliki, kata Ibnu Khaldun, proses keberadaannya telah melibatkan seribu orang. Kursi kayu yang kita duduki misalnya melibatkan penanam kayu, penebang kayu, pembuat alat pertukangan, tukang kayu, pembuat pelitur, tukang pelitur, pembuat paku, penggali tambang bijih besi sampai kepada angkutan yang membawa kursi itu ke rumah. Angka seribu yang diperkenalkan Ibn Khaldun bukan angka secara matematis tetapi hanya untuk menunjukkan betapa banyaknya orang yang terlibat dalam proses kehadiran suatu benda. Oleh karena itu kata Ibnu Khaldun, setiap benda memiliki fungsi sosial (karim, 2006).

Itulah sedekah. Sedekah sunnah yang secara sukarela dilakukan. Sedekah yang merupakan bentuk altruisme tertinggi dalam Islam karena ia bersifat sukarela, tanpa paksaan, tanpa ketentuan, dilakukan dalam kondisi susah ataupun senang, di malam dan siang hari, sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan. Ah, pengemis tua itu memang sudah selayaknya dibantu. Jadi ingat kata Pak Mario Teguh, Tuhan (Allah) itu kadang memberi hambanya bukan karena hambanya meminta-minta, tapi karena memang hamba tersebut memang pantas untuk diberi. (VicVen)

Selasa, 20 November 2012

Mengapa Harus Suka Membaca?


Membaca itu gampang dan semua orang bisa,namun yang mungkin agak sulit adalah memahami, mengolah kata dan menyerap makna yang terkandung didalam sebuah susunan kata-kata yang dibaca. Membaca tanpa berupaya untuk memahami adalah suatu pekerjaan yang membuang-buang waktu. Pemahaman yang baik adalah tujuan dari membaca. Bahkan imam ghazali pernah berkata, kalau kita ingin mendalami suatu kitab maka bacalah kitab tersebut sampai tiga kali. Hal tersebut dilakukan agar diperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai hal yang sedang dikaji.
Pada saat ini, urgensi membaca bagi semua orang terutama para pelajar tidak perlu dipertentangkan lagi. Dalam artian membaca sudah menjadi sebuah keharusan. Membaca dan belajar tanpa berpikir adalah suatu pekerjaan yang sia-sia. Sedangkan belajar tanpa berpikir dan membaca adalah suatu perbuatan yang berbahaya. Apakah membaca sekedar merupakan hobi? Tidak. Karena membaca kadang kala menjelma menjadi lebih dari sekedar hobi, yaitu kebutuhan. Membaca sudah merupakan kebutuhan bagi seseorang terutama bagi mereka yang sedang menuntut ilmu. Namun demikian, bagi sebagian kalangan membaca dianggap sebuah aktifitas yang menjemukan. Hal tersebut tak dapat dipungkiri mengingat masih banyak orang yang belum menemukan manfaat yang berarti dari membaca.
Membaca sesungguhnya memiliki banyak manfaat jika senantiasa dijadikan sebagai hal yang tak terpisahkan dari aktifitas sehari-hari. Misalnya, dengan intensitas membaca yang tinggi, maka dengan sendirinya akan membuat seseorang semakin fasih dalam menuangkan gagasan, saran maupun pemikiran baik via lisan maupun tulisan.
Kemahiran dalam berkomunikasi secara verbal tersebut meningkat seiring dengan semakin bertambahnya perbendaharaan kata yang dimiliki seseorang. Tanpa disadari terkadang ketika memberikan sebuah ulasan atau penjelasan akan suatu hal, orang lain dapat dengan mudah menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh pembicara.
Membaca dapat memberikan kenikmatan tersendiri bagi jiwa. Ketika sedang dirundung kesedihan, membaca buku yang berisi kumpulan taushiyah maupun nasihat keagamaan lainnya bisa menimbulkan kesejukan hati bagi pembacanya. Membaca juga merupakan sebuah wisata pikiran. Melalui membaca, seseorang bisa pergi ke mana saja tanpa dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Pemikiran orang-orang terdahulu bahkan ratusan tahun silam, masih bisa dipelajari oleh manusia zaman sekarang dengan membaca.
Membaca akan mengisi otak, membentuk karakter hingga memberi corak dalam cara berpikir. Selain itu, dengan membaca orang bisa mengambil manfaat dari kearif bijaksanaan dan pengalaman orang lain. Seseorang tidaklah punya cukup waktu untuk mengalami pengalaman itu sendiri. Maka dari itulah mempelajari pengalaman yang telah dialami oleh orang lain akan menjadi sesuatu yang berharga agar dapat juga memetik hikmahnya.
Membaca dapat memberikan pencerahan baru pada pemikiran seseorang. Tak jarang pikiran digelayuti oleh persoalan sementara solusi untuk memecahkannya tak kunjung pula ditemukan. Termasuk juga pada seseorang yang sedang menjalani rutinitas yang membosankan. Membaca kerap kali menjadi solusi dalam mengatasi pelbagai permasalahan yang dihadapi. Membaca juga penting karena membuat seseorang menjadi lebih mandiri dalam mencari pengetahuan. Asalkan memiliki daya paham yang baik, ketergantungan pada les, kursus dan sebagainya bisa diminimalisir.
Lan Fang pernah berkata,”Jika kau ingin melihat dunia, maka membacalah. Jika kau ingin dilihat dunia maka menulislah”. Membaca dan menulis memiliki keterikatan yang sangat erat. Diakui atau tidak, intensitas membaca di kalangan masyarakat kita terbilang rendah. Jika dilihat dari jumlah pembaca surat kabar di Indonesia. Idealnya, satu surat kabar dibaca oleh 10 orang. Namun, di Indonesia, satu surat kabar dibaca oleh 45 orang. Indonesia juga masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti Filipina 1:30 atau Sri Lanka 1:38. Intensitas membaca yang rendah tersebut juga memberikan dampak negatif pada intensitas menulis masyarakat.
International Publishers Association of Canada menyebutkan, produktivitas pengarang umum di luar buku pelajaran sudah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 1999, para pengarang Indonesia mampu memproduksi 9.000 judul buku. Tahun 2004, cuma sekitar 5.000 judul buku setiap tahun. Bandingkan dengan Malaysia (15.000 judul buku), Jepang (65.000 judul), Jerman (80.000 judul) dan Inggris (100.000 judul) setiap tahun.
Berkaca dari hal di atas, Pentingnya membaca haruslah segera kita sadari sehingga memupuk semangat untuk menelaah dan mengkaji bahan-bahan bacaan. Apakah membaca harus berupa buku? Membaca tidak harus berupa buku. Banyak bahan bacaan yang bisa dibaca, misalnya surat kabar. Membaca surat kabar juga penting bagi kita karena kita bisa terus mengikuti perkembangan-perkembangan aktual, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Kita akan mengetahui berita-berita aktual apa yang lagi hangat setiap harinya dengan membaca surat kabar.  Lho, apakah kita perlu mengetahui perkembangan-perkembangan nasional? Ya, perlu, bahkan harus. Bukankah kita adalah para calon pemimpin bangsa yang kelak menduduki posisi kepemimpinan di negeri Indonesia ini? Kita perlu ”membaca” Indonesia melalui surat kabar agar dapat mengambil pelajaran dan pengalaman berharga. Harapannya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang. Wallahu ‘alamu bis showab.

Minggu, 11 November 2012

Diawali dengan Godaan, Diselingi dengan Kegalauan, Diakhiri dengan Pengabdian


Bolak-balik ditelpon berbagai perusahaan entah dari Jakarta maupun Surabaya. Hal tersebut sepertinya juga banyak dialami oleh lulusan (fresh graduate) yang lain. Motifnya sama yakni mau direkrut. Dan berulang kali pula aku harus menolaknya dengan halus. Tak jarang perusahaan-perusahaan itu tidak mau menyerah. Keesokan hari masih saja menelpon lagi. Kalau sudah seperti itu, maka jawaban yg paling tepat adalah, “Maaf pak, saya sudah memiliki pekerjaan tetap”. Yah, dijamin gak bakal ditelpon lagi :D. Pengalaman yang menyenangkan. Sementara orang-orang lain pada sibuk mencari pekerjaan dan melamar kesana kemari. Lha ini malah bolak-balik menolak pekerjaan. Guaya tenan. Sebenarnya eman. Apalagi kalau yg nawari termasuk kategori oil and mining companies, duh starting salary-nya itu lho, bikin galau. Ya, aku benar-benar GALAU. Aku mau ngabdi, kok malah sering digoda.

Ada lagi. Akhir Februari 2012. Beberapa hari setelah aku sidang skripsi pun, Pak Fanani, salah seorang dosen akuntansi, menelponku dan bilang kalau aku dicari Pak Agus dan diminta segera menghadap ke departemen. Pak Agus adalah ketua departemen akuntansi. Beliaulah yang dulu memintaku untuk pindah ke English Class ketika aku masih semester 1. Dan akhirnya, semester 2 pun aku menuruti beliau. Beliau juga orang yang suka nggojloki aku jika tak sengaja berpapasan di kampus lantaran skripsi tak kunjung usai. Maklum kuliahku molor hingga semester sembilan “Vick, Vick. Gak lulus lulus. Ayo ndang cepet dimarikne skripsine.” Aku pun cuma bisa mencium tangan beliau dan kemudian sambil tersenyum bilang, “nggeh, pak” J.

Aku sudah bisa menebak apa yang akan menjadi bahan pembicaraan. Ya aku pun mengingat-ingat kalau setahun yang lalu, Februari 2011, saat kuliahku masih semester 7. Kebetulan pada saat itu aku jadi narasumber sebuah talkshow di Radio Suara Surabaya FM (SSFM) pernah nyeletuk kalau setelah lulus mau jadi akademisi. Spontan, setelah talkshow tersebut usai, ada 3 orang dosen dari 3 departemen yang berbeda di FEB langsung mengirimkan pesan baik via sms maupun FB yang isinya mendukung saya untuk jadi akademisi. Rupanya mereka secara tidak sengaja juga mendengarkan talkshow tersebut.

Ternyata benar. Begitu masuk ke ruang departemen, Pak Agus pun langsung menggiringku masuk ke suatu ruangan. Ternyata sudah ada 3 orang dosen disana. Intinya, pak Agus dan beberapa rekan dosen memintaku untuk bersedia mengajar di FEB UNAIR, tepatnya di D-3. Karena lulusan S-1 tidak boleh mengajar mahasiswa S-1. Sambil mengajar di UNAIR ketika weekdays, beliau pun juga meminta saya kuliah S-2 di UB Malang ketika weekend. Godaan dari kampus ini juga menarik. Dan aku pun GALAU lagi. Aku mau ngabdi, kok malah terus digoda.

“Bentar, pak. Tapi saya setelah lulus dari kampus ini punya kewajiban untuk kembali ke pondok dan mengabdi disana”, kataku. Pak Agus dan dosen yang lain pun mafhum akan hal itu tapi mereka tetap bersikukuh untuk merekrut dan bahkan bersedia untuk menyesuaikan jadwalku di kampus dengan jadwal di pondok nantinya. Yang penting aku mau kembali ke kampus. Aku belum bisa memberikan jawaban. Karena bagaimanapun juga aku harus sowan ke pengasuh terlebih dahulu.

Segera setelah itu, aku pun sowan ke pengasuh pondok. Singkat cerita, dengan berbagai pertimbangan, pondok pun belum memberikan lampu hijau untuk kembali Ke kampus. Khawatir kalau waktu dan tenagaku nantinya habis buat ngajar di UNAIR dan berkuliah di UB. Pengabdian di pondok pun tidak akan maksimal. Baiklah, sami’na wa atho’na. Aku pun segera menemui pak Agus dan menyampaikan maaf karena tidak bisa memenuhi permintaan beliau. Case is closed.

Well, udah dulu deh curhat tentang kegalauannya, selanjutnya tentang pengabdian aja. Galau jangan dibiarin lama-lama. Secepatnya ngabdi, harus sibuk, menyibukkan diri atau sok sibuk, pokoknya MOVE ON, nanti juga lupa kalau pernah galau :D. Saya mau ngelist dulu apa aja kegiatan saya ketika ngabdi.


1 April 2012. Aku resmi mulai mengabdi. Aku ngabdi di dua tempat. PP. Nurul Huda dan PP. Al-Fithrah. Nurul Huda adalah almamaterku dulu. Pondok kecil yang terletak di sebelah timur masjid agung Sunan Ampel. Santrinya pun sekitar 150 orang. Sebagian besar waktuku dihabiskan di Nurul Huda. Sedangkan Al-Fithrah adalah sebuah pondok besar dengan santri sekitar 2000 orang. Pondok tersebut adalah markas dari thoriqoh qadiriyah naqsabandiyah yang memiliki sekitar 600 ribu jamaah. Tugas utamaku di dua pondok tersebut adalah mengajar. Di Nurul Huda kalau ngajar pakai celana, atasan berupa jas/kemeja/batik, dan saya dipanggil pak guru. Sedangkan di Al-Fithrah kalau ngajar pakai sarung, baju takwa putih dan kopyah putih, dan saya dipanggil ustadz :D.

Kebetulan April adalah bulan dimana UN dilaksanakan. Aku pun ditugaskan untuk jadi pengawas UN di sekolah lain. Mengawasi UN bersama-sama dengan guru-guru dari sekolah lain. Sering kali aku mendapatkan pertanyaan, “guru baru ya mas?”, kalau dijawab iya, nanti ditanya lagi “lulusan dari mana mas, UNESA ya?”, kalau udah dikasih tahu lulusan dari kampus mana dan jurusan apa, muncul lagi pertanyaan susulan, “lho masnya kok mau jadi guru? Tidak kerja di bank saja.” Saya sampai bosan untuk menjawabnya. Hadeeehh.

Langsung saja, berikut daftar kegaiatan saya selama di pondok. Pertama, ngajar ekonomi. Aku ngajar di semua kelas. Kelas 1, 2 & 3 di SMA Nurul Huda. Aku juga meminta kepada kepala sekolah untuk tidak melakukan pengadaan buku ekonomi. Karena aku berinisiatif untuk membuatnya sendiri. Dan alhamdulillah, untuk semester gasal buku pelajaran tersebut udah rampung, tinggal yang semester genap yg masih dalam proses penulisan. Mumpung masih muda. Ilmu yang diperoleh di bangku kuliah masih segar.

Kedua, menjadi wali kelas di kelas 3 SMA Nurul Huda. Yah, kepala sekolah saya ingin kelas 3 dipegang oleh anak muda yg enerjik. Dan sepertinya saya kelihatan enerjik :D. Saya pasrah, apa aja yag ditugaskan ke saya, biasanya saya terima tanpa melakukan perlawanan yg berarti. Istilahnya anak jekardah, “Lo jual, gua beli”. Sebagai wali kelas saya harus sering-sering ngompori semangat belajar mereka. Baik untuk menghadapi UN maupun persiapan hendak lanjut ke perguruan tinggi. Saya harus membuka wawasan mereka selebar-selebarnya tentang pentingnya pendidikan tinggi. Juga sebagai tempat menampung keluh-kesah mereka, nyidang murid yang bermasalah, nginput nilai dan data-data lainnya untuk rapor yang jumlahnya mencapai ratusan lembar, dan lain-lain.

Ketiga, ngajar bahasa inggris di kelas 1 SMP Nurul Huda. Aduh... Ini benar-benar aku kurang telaten. Murid-murid yang hyper aktif. Setiap kali mengajar yang saya pikirkan bukan ‘apa’ yang mau saya ajarkan, tapi ‘bagaimana’ saya mengajar. Mengajar anak SMP jelas-jelas lebih menguras tenaga dibandingkan mengajar anak SMA. Menguasai materi pelajaran itu mudah, nah yang sulit itu menguasai kelas. Jika aku diibaratkan HP yg baterainya full, maka begitu selesai ngajar di kelas 1 SMP, HP tersebut baterainya langsung nge-drop L.

Keempat, ngajar ekstra kurikuler bahasa inggris kelas 3 Aliyah putra dan putri PP. Al-fithrah. Pengajaran lebih ditekankan pada speaking dan reading. Beruntung setelah siang harinya ngajar bahasa inggris di SMP kelas 1, sorenya ngajar di Aliyah putri. Nah, karena sebelumnya baterainya udah dibikin nge-drop, pas yang ini bolehlah disebut recharging process. LOL :D

Kelima, jadi pendamping intensive class (English club) putra PP. Al-fithrah. Ini diperuntukkan bagi santri putra yg senior saja. Lebih banyak diisi dengan diskusi, entah diskusi tentang materi-materi keislaman maupun tema-tema kontemporer lainnya.

Keenam, jadi tim pengelola website Nurul Huda. Kebetulan ada anak CSS MoRA ITS yang juga mengabdi di pondok saya. Dia membenahi sistem administrasi di pondok, termasuk juga merombak total website. Dia dan saya pun langsung ditunjuk oleh pengasuh untuk menjadi pengelola utama website tersebut. Belum genap sebulan. Kami diplot menjadi dewan redaktur, sekaligus kontributor tulisan, sekalian reporter untuk kegiatan-kegiatan yang dihelat pondok maupun unit-unit pendidikan yang berada di bawahnya. Untuk meringankan beban kinerja, baru-baru ini kami pun merekrut anak-anak SMP dan SMA. Mereka saya latih tentang jurnalistik. Mengamalkan ilmu yang dulu diperoleh ketika berkecimpung di An-Nihayah dan Warta UNAIR.


Selain itu ada lagi hal-hal insidentil yang juga saya lakukan seperti menjadi pembimbing olimpiade. Baru terealisasi sekali yaitu ketika membimbing anak-anak ikut olimpiade ekonomi syariah di UNAIR. Walhasil, hasilnya belum beruntung. Tapi tidak apa-apa. At least, sudah bisa membuka wawasan mereka untuk berkompetisi di dunia luar. Tidak jadi katak dalam tempurung. Biar tidak seperti guru ekonominya, yang baru merasakan yang namanya lomba/kompetisi setelah masuk ke dunia perkuliahan. Selain itu, saya pernah juga menjadi tim persiapan akreditasi, ikut berbagai seminar pendidikan, ikut Uji Kompetensi Guru (UKG), dan lain-lain.

Alhamdulillah pihak sekolah maupun pondok selalu mendukung apa yang saya lakukan. Mau melakukan ini, disetujui. Mau melakukan itu, disetujui. Saya masih memiliki beberapa rencana kegiatan. Yakni membentuk English club di SMA Nurul Huda. Sudah disetujui oleh kepala sekolah, tapi belum dimulai juga karena kerepotan cari waktu yg tidak bentrok dengan kegiatan yang lain. Selain itu, saya juga ingin membentuk KIR. Biar anak-anak punya wadah untuk membuat karya tulis ilmiah. Biar para santri tahu tulis-menulis.

Alhamdulillah terhitung 7 bulan sudah aku menjalani pengabdian di pondok. Ya, ini pengabdian bukan pekerjaan. Dan alhamdulillah masih bisa hidup meskipun nggak kerja :D. Insya Allah kalau dijalani masa tiga tahun itu singkat. Para asatidz yang telah mengabdikan dirinya selama belasan bahkan puluhan tahun saja masih merasa belum memberikan apa-apa bagi pondok, apalagi saya yang cuma 3 tahun berada di sini. Saya tidak tahu kehadiran saya di sini memberikan manfaat atau tidak. Yang bisa saya lakukan hanyalah belajar ikhlas dan terus berusaha memberikan apa yang bisa saya berikan.

You Never Walk Alone. Saya bukan penggemar Liverpool, tapi jujur saya sangat menyukai jargon klub yg satu ini. Keren sekali. Memang, You Never Walk Alone. Ada teman-teman KD yang juga saling memberikan support, dan pastinya ada Allah yang selalu membimbing setiap langkah yang kita lalui. He Knows The Best For Us. Jalani apa yang harus dijalani, karena janji Allah itu jelas. In tanshurullah, yanshurkum.

Ini cerita pengabdianku, ayo bagikan cerita pengabdianmu. Glory Glory CSS MoRA UNAIR ^_^

VicVen/Accounting EC/FEB’07

Selasa, 29 Mei 2012

Mesin Uang Kaum Sarungan

Kebanyakan dari kita akan berpikir tentang bisnis skala mikro dan kecil ketika mendengar kata "koperasi". Paradigma orang tentang koperasi masih berkutat sekitar urusan bisnis yang kecil, ditangani lembaga yang kecil, dan seringkali bikin repot pemerintah karena selalu minta subsidi dan bantuan lainnya. Lantas, bagaimana jika koperasi kecil tersebut memiliki aset hampir Rp 75 Milyar, memiliki cash flow yang besarnya hampir Rp 350 Milyar. Dengan estimasi growth per tahun 25%, bisa dipastikan pada tahun 2016, cash flownya mencapai Rp 1 Triliun. Ya, itulah BMT MMU Sidogiri. Sebuah Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) yang berbasis pesantren di daerah Pasuruan.

BMT MMU sukses memanfaatkan dengan baik jaringan alumni yang tersebar di berbagai daerah terutama di Jawa Timur, meskipun saat ini masih mengandalkan “emotional market”. BMT yang mulanya berscope kabupaten tersebut bahkan mengubah statusnya untuk ekspansi hingga scope provinsi pada tahun 2009. Total cabang yang dimiliki sebanyak 35 unit. Diantaranya, 25 cabang di pasuruan, 3 di probolinggo, 3 malang, 2 di mojokerto, 1 surabaya dan 1 gresik. BMT yang laporan keuangannya dinilai Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tersebut juga telah mengakuisisi sebuah BPRS, yakni BPRS Untung Surapati di Bangil.

Sebagian besar kegiatan bisnis di Indonesia terdiri atas usaha kecil dan menengah (UKM).  Pada tahun 2007, jumlah usaha kecil mencapai lebih dari 91 persen dari keseluruhan bisnis, atau  berjumlah  sekitar 44 juta usaha. Maka dari itu, pengembangan BMT/KJKS di Indonesia memiliki kontribusi besar dalam pengembangan perekonomian bangsa. Terbukti berdasarkan data Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (PINBUK) menyebutkan jika total aset BMT di tahun 2010 telah capai Rp 4 triliun.  Sementara nasabah yang telah terlayani mencapai 3 juta orang. Dengan jumlah aset tersebut diperkirakan ada 3.900 BMT yang beroperasi dan tersebar diseluruh masyarakat. BMT lebih menyasar masyarakat kelas bawah sebagai anggotanya.

Namun  demikian,  ada hal yang lebih  beragam  sehubungan dengan eksistensi BMT. Beberapa BMT berkembang pesat dan terus memperluas bisnisnya sementara beberapa BMT lain terancam bangkrut karena beberapa hal yang menghambat. Berikut beberapa tantangan yang dihadapi oleh BMT secara umum.

Sekelumit Tantangan yang dihadapi

Pertama, Sumber Daya Manusia (SDM). Dunia perkoperasian yang kekurangan tenaga profesional mungkin akan stagnan. Sebab, tidak ada inovasi maupun kreativitas untuk menggerakkan roda usaha lebih cepat lagi. Salah satu sebabnya adalah faktor gaji. Gaji yang belum memadai dibandingkan dengan usaha swasta lain yang berada pada level sama. Bahkan, gaji karyawan koperasi/BMT masih kerap ditemukan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Padahal SDM yang dibutuhkan idealnya menguasai dua dimensi ilmu. Yakni, pengetahuan tentang syariah muamalah dan tentang ekonomi dan keuangan secara praktis.

Kedua, pemasaran. Inovasi di bidang pemasaran yang kurang karena umumnya kualitas SDM yang rendah dan dana yang terbatas. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pemasaran dan jaringannya kedodoran. BMT harus berhadapan dengan bank-bank, baik konvensional maupun syariah yang jaringan dan group marketingnya dilengkapi dengan instrumen dan SDM yang canggih dan terlatih. Apalagi setelah bank-bank itu juga turun mengurusi usaha kecil dan mikro, maka koperasi BMT kian terpukul ke pojok. BMT tidak akan menang kalau berhadapan dengan Bank Syariah dan BPRS.

Ketiga, permodalan. Untuk bisa maju dan besar, maka perlu modal besar juga. Bagaimana mungkin sebuah koperasi BMT akan bisa besar dan maju dalam melayani masyarakat kecil, jika modalnya pas-pasan? Diperlukan usaha terpadu, baik di kalangan koperasi sendiri maupun pemerintah dalam menggalang peningkatan modal dalam rangka peningkatan layanan kepada masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan Linkage Programming dengan bank syariah. semisal, yang dilakukan oleh BMT MMU dan Bank BNI syariah, dimana BNI syariah menyalurkan dana sebesar Rp 5 Miliar kepada BMT MMU untuk penguatan modal agar bisa memberikan pembiayaan yang lebih banyak lagi kepada masyarakat. Atau bisa juga seperti yang dilakukan oleh Induk Koperasi Syariah (Inkopsyah) dengan menerbitkan sukuk senilai 1 trliun dengan jangka waktu 10 tahun. Dengan strategi linkage programming, bank syariah tidak usah turun ke bawah sehingga harus berkompetisi face-to-face dengan BMT. Canibalism antar lembaga keuangan bisa dihindari.

Keempat, Lembaga Penjamin Simpanan dan Pasar Uang bagi BMT. Tidak seperti bank yang didukung oleh lembaga penjamin simpanan apabila terjadi likuidasi, BMT tidak memiliki dukungan yang sama. Demikian pula lembaga yang bertindak selaku lender of the last resort alias lembaga pemberi pinjaman terakhir apabila terjadi krisis likuiditas. Problem ini sudah diidentifikasi sejak 16 tahun yang lalu, yaitu ketika kongres BMT pertama diadakan pada tahun 1996. Sampai saat ini nampaknya belum ada realisasinya, baik dari kalangan pemerintah maupun BMT sendiri. Selain itu kelebihan likuditas juga tidak teratasi jika tidak ada pasar uang bagi BMT.

Kelima, teknologi. Hal yang paling tertinggal dalam koperasi syariah/BMT adalah masalah teknologi, meskipun secara mendasar, hampir tidak ada koperasi syariah/BMT yang tidak menggunakan tekonologi komputer saat ini. Akan tetapi untuk yang besar, mereka terpaksa harus gigit jari. Ambil misalnya yang paling sederhana dan mudah dilihat masyarakat seperti ATM (Automatic Teller Machine). Bank-bank baik konvensional maupun syariah dengan mudah melakukan investasi dalam jaringan ini karena besarnya modal yang dimiliki. Atau dengan mudahnya masuk dalam jaringan ATM bersama karena kemampuan untuk membayar biaya bulanan atas jaringan yang digunakan.

Keenam, badan hukum BMT. Lembaga keuangan mikro itu adalah kumpulan dari orang-orang yang bermufakat untuk mengumpulkan modal untuk disalurkan kepada anggota, maka seharusnya badan hukum yang tepat adalah koperasi. Bank Indonesia sangat mendorong agar BMT dialihkan menjadi bank (BPR Syariah). Namun di bawah UU Perbankan, BMT akan membutuhkan modal yang lebih besar untuk dapat beroperasi, dan hal ini akan mempercepat penggabungan beberapa BMT. UU Perbankan juga mengharuskan pengelolaan secara modern yang berarti para manajer perlu melalui ujian-ujian tertentu. Banyak BMT baru dan kecil tidak mempunyai sumber daya finansial yang memadai untuk memberi pelatihan bagi para pegawainya guna mencapai standar yang dibutuhkan. Maka dari itu, mengatur  BMT  dengan  dasar-dasar  hukum  perbankan  yang  sudah ada kemungkinan akan membunuh BMT secara perlahan-lahan.

Baitul Maal wat Tamwil atau Baitut Tamwil?

Ada kecenderungan BMT mulai mengurangi porsi kegiatan “baitul maal”. Sehingga kegiatan yang dilakukan lebih banyak berkutat pada “baitut tamwil” saja. Misalnya, TAMZIS. BMT yang beroperasi di Wonosobo sejak tahun 1992 tersebut pada awalnya mempunyai bagian baitul maal. Namun, para anggotanya kesulitan membedakan antara pinjaman bukan untuk mengejar keuntungan (skema Qardhul Hasan) dengan kontrak-kontrak lainnya yang bertujuan mendapatkan keuntungan. Banyak orang yang beranggapan bahwa mereka  tidak wajib membayar kembali pinjamannya. Untuk memecahkan masalah ini, TAMZIS menghapus baitul maal dan memusatkan perhatian pada penyediaan pinjaman-pinjaman bagi pembiayaan mikro. Oleh sebab itu, TAMZIS menyebut dirinya baitut tamwil dari pada BMT. Excuse semacam ini mungkin bisa dimaklumi. Akan tetapi hal tersebut akan menjadi tidak etis jika dilakukan oleh BMT semata-mata karena ingin mengejar keuntungan lebih dan enggan untuk menjalankan fungsi sosialnya.

Ada BMT yang jalan di tempat?

Ada. Kalau contoh BMT yang sukses adalah BMT MMU (Pasuruan), BMT UGT (Pasuruan), BMT Beringharjo (Jogja), BMT TAMZIS (Wonosobo). Maka ada juga beberapa contoh BMT yang sulit berkembang dan jalan di tempat.

Pertama, BMT Madani (Jogja). BMT yang mengalami kegagalan karena kerugian yang diderita akibat kerugian dari mengembangkan unit bisnis retail. Bisnis ecerannya tidak berkembang dan pada saat yang sama pembayaran kembali dari para anggotanya juga mulai menurun. Menyaksikan hal tersebut anggota-anggota lain segera menarik dana simpanannya yang pada akhirnya mengakibatkan kebangkrutan BMT ini.

Kedua, BMT Maskumambang. BMT yang dimulai dari komunitas pesantren tersebut dimulai dengan dana awal sebesar Rp. 3.000.000,-. Satu setengah dekade setelah pendiriannya, BMT ini hanya mempunyai total aset sebesar Rp. 25.000.000,- yang sebagian besar (Rp. 18.000.000,-) masih menjadi tunggakan karena para peminjamnya tidak mempunyai kemampuan untuk membayar kembali. Kurangnya komitmen para pengelola dan pengaturan mekanisme pembiayaan yang buruk berkontribusi pada buruknya kinerja BMT tersebut. Contohnya, peminjam dana tidak diwajibkan menyediakan jaminan. Akibatnya, ketika nasabah gagal mengembalikan pinjamannya, BMT tersebut tidak dapat melakukan apa-apa untuk menarik pinjamannya.

Ketiga, BMT SMS Pacul Gowang. BMT ini dimulai dengan dana Rp.  78.000.000,-  dan dalam waktu  tiga tahun mampu meningkatkan  asetnya  dengan  sangat  pesat  menjadi  Rp.  500.000.000,-.  Sebelum  memulai BMT ini,  para  pengelolanya  mendapat  pelatihan  dari  BMT  MMU Sidogiri. Lembaga ini juga menerima pelatihan teknis dari lembaga-lembaga lain. Namun demikian, pertumbuhan dan peluang bisnisnya di masa depan terbatas karena BMT SMS Pacul Gowang enggan memperluas bisnis di luar wilayahnya karena kekurangan sumber daya  manusia dan tidak mampu mampu  menggunakan jaringan alumni. (VicVen)

Materi Diskusi Rutin Ekonomi Islam (Direksi) AcSES FEB UNAIR – 29 Mei 2012

Problematika Zakat di Indonesia

Secara istilah zakat didefinisikan sebagai bagian dari sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah swt untuk dikeluarkan kepada para mustahiq dan untuk membersihkan diri. Dalam hal ini perintah zakat juga termaktub dalam kitabullah yang berbunyi ”dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat” (QS. 2 : 43). Kata zakat seringkali dirangkaikan dengan kata sholat. Hal ini menunjukkan bahwasanya islam menginginkan para pemeluk agamanya agar selain sholeh ritual juga sholeh sosial. Zakat adalah salah satu instrumen untuk mencapai kesholehan sosial. Melalui zakat, diharapkan kekayaan tidak hanya terpusat pada segelintir orang saja. kekayaan haruslah terdistribusi secara merata pada segenap umat muslim.

Potensi

Zakat digadang-gadang menjadi salah salah satu instrumen pemerataan pendapatan dikarenakan potensinya yang besar di Indonesia. Berdasarkan riset dari hasil kerjasama UIN Jakarta dan Ford Foundation pada tahun 2003, ditemukan bahwa potensi ZIS di seluruh nusantara mencapai 19,3 triliun per tahun. Tentunya untuk tahun 2012 dan seterusnya akan lebih besar dari tahun 2003 dikarenakan juga memperhitungkan inflasi di Indonesia per tahunnya.

Pengumpulan

Akan tetapi optimalisasi pengumpulan zakat di negeri ini kurang berjalan mulus. Perolehan hasil pengumpulan zakat secara nasional yang dilakukan oleh BAZ/LAZ di seluruh indonesia masih jauh sekali untuk menyentuh angka sebagaimana yang diproyeksikan. Sepanjang tahun 2011 saja, hanya sekitar 1 Triliun yg berhasil dihimpun oleh BAZ dan LAZ se-Indonesia. Hal tersebut terjadi karena banyak hal. Bisa jadi penyebabnya karena Muzakki ataupun juga karena lembaga zakat itu sendiri. Dari sisi Muzakki, biasanya disingkat dgn 3T. Tidak tahu, tidak mau, dan tidak percaya. Pertama, tidak tahu. Mungkin masyarakat tahunya hanya zakat fithrah saja sehingga berujung pada terabaikannya zakat maal yg nominalnya jauh lebih tinggi daripada zakat fithrah. Kedua, tidak mau. Mungkin masyarakat tahu akan kewajiban berzakat (maal) namun enggan untuk menunaikannya. Ketiga, tidak percaya. Mungkin banyak  para muzakki tahu dan mau untuk membayar zakat, tapi lebih memilih untuk menyalurkan zakatnya secara langsung kepada individu-individu yang diinginkan dikarenakan kurangnya rasa percaya si muzakki terhadap lembaga pengelola zakat.

Sementara dari sisi BAZ/LAZ sendiri, bisa jadi lembaga pengumpul zakat tersebut dianggap kurang transparan dalam mengelola dana, dianggap kurang kreatif dalam pengelolaan dana, dan lain-lain. Semua hal itu hendaknya menjadi pelajaran bagi BAZ/LAZ untuk terus melakukan improvisasi demi meningkatkan kepercayaan para muzakki yg bermuara pula pada optimalnya pengumpulan dan pemanfaatan dana zakat di Indonesia.

Pemanfaatan

Pemanfaatan zakat pun tak luput dari sorotan. Zakat  yang selamanya disalurkan langsung kepada masyarakat dalam bentuk barang-barang yg konsumtif tidak akan dapat mengentaskan kemiskinan. Kenapa, karena zakat yang diberikan dalam bentuk langsung hanya akan bermanfaat sementara waktu dan setelah itu menguap. Zakat konsumtif tetap perlu di fase-fase awal pemberian bantuan, tapi selanjutnya zakat produktif lah yang harus diberikan. Namun, lembaga sosial seperti lembaga pengelola zakat, juga terbentur pada realitas, bahwa mengemas program produktif guna pemberdayaan para mustahiq bukanlah suatu perkara yang mudah. Membuat usaha sendiri saja sulit, apalagi membuatkan usaha untuk orang lain.

Sementara itu ada hambatan juga di kalangan mustahik untuk menjadikan dana ZIS sebagai modal usaha. Membuat usaha memang sulit, pelik, melelahkan dan penuh resiko. Ada berbagai penyebab sulitnya mengembangkan usaha. Jika ada modal, apakah produknya layak untuk dikonsumsi. Jika produknya layak dikonsumsi, apakah banyak yang membeli. Jika produk layak dan pasar tepat, apakah memang kebijakan mendukung keberlangsungan usaha mereka. Ini sekadar penyadar, bahwa dalam berusaha mereka terbentur-bentur pada berbagai kekurangan. Pengetahuan yang mereka miliki amat sederhana. Hingga kreativitas makanan yang disuguhkan bukan lagi sederhana, melainkan juga amankah dikonsumsi. Sementara itu ada faktor-faktor lain juga mendukung lestarinya kemiskinan. Ada kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, ada ambisi ekpansi bisnis perusahaan swasta yg perlahan akan membunuh bisnis-bisnis orang kecil, dan lain sebagainya. Pada akhirnya harus disadari dengan sesadar-sadarnya, kalau perjuangan mulia untuk menjadikan para mustahiq yang saat ini berhak mendapatkan zakat agar dikemudian hari berubah menjadi muzakki sangatlah menantang. Wallahu ‘alam. (VicVen)

Materi diskusi FoSSEI Jatim di Masjid Al-Akbar (27 Mei 2012)

Sandalku Dighasab


Ghasab, as it’s fondly called, referring to the act of borrowing other people’s goods without asking permission from the owner. In the past time, I ever had fallen victim of ghasab. It happened initially when I was in Tebuireng Jombang. It made me exhausted to look for my flip-flops when I intended to go out from the mosque of pondok. I just stayed there for a while to pray dhuha. But, my flip-flops were suddenly gone without any trace. Therefore, I couldn’t hold myself to make a revenge. Due to my frustration to search, I decided to take another person’s flip-flops. hahaha.

That incident occurred again when I taught the female students in Madrasah Aliyah. The class is situated inside the complex of female dorm. After teaching in my class, I walked out from the class. However, I was rather shocked when I knew that my flip-flops were gone. SABAAARRRR....... I tried to be sincere. I thought, the female student might want “barokah” of their teacher by taking the flip-flops, wkwkwk. So, I left the complex without wearing any footwear. Fortunately, there was a male student lent me his flip-flops. So, I still could go home comfortably.

Ghasab in Pondok Pesantren

Flip-flops are the most popular object for ghasab. Although most of students (santri) know that ghasab is sinful, they still keep doing that deed when they are in a need to do that. It’s not because they don’t know about the sharia provision of ghasab, but it’s due to their stubbornness to comply with the rules provided by the management of pondok pesantren.

The practice of ghasab still exists in pondok until now. Why? There might be several reasons can be explained. It can be due to the lack of students’ awareness regarding the obedience to the rules formulated by pondok. They sometimes belittle the provisions that have been stipulated. The other reason is (perhaps) the amount of flip-flops owned by students is fewer than the amount of students. So, it has a potential to provoke the act of gashab. Because, the students who don’t have flip-flops will make an attempt to borrow or do ghasab when they want to go out from their rooms. Even, this situation can get worse when there is an ignorance from the pondok’s management concerning the punishment for ghasab, and there is no strategy to make the students obey the rules as well. Students tend to make justification when they do ghasab. They often argue that ghasab is a common practice and everybody (in pondok) also does it.

The lesson that can be taken

To minimize the impact of this practice, in my viewpoint, wearing rather expensive and good-looking sandals are strongly recommended. It can stifle the intention of students to do ghasab. it’s because the target of ghasab is usually only the inexpensive sandals (flip-flops). So, although wearing the expensive ones is riskier, but it’s safer. If we are still unlucky (the footwear is still gone), then we had better to surrender our sandals. Just treat it as our alms/giving for them. So, they will not be burdened by the sin of ghasab because we have forgiven them by surrenderring our goods.

The case of ghasab may never end. Eventhough the prohibition is repeated to the students over and over again, the similar case will recur in the near future. However, there is one strategy that can be implemented. This has been carried out by one of pondok pesantren in Madura island. To curb the habit of ghasab, there is a routine inspection conducted by a special task force in pondok. At the time of inspection, all students are instructed to go outside and wear footwear. If there is a student who is found out not to have footwear, then the student will be punished. The student must give a sum of money to the task force. Shortly afterwards, the task force will buy him/her flip-flops. It’s an interesting strategy to apply.

Minggu, 15 April 2012 (21:15)

Naik Bus Ponorogo - Surabaya (catatan kecil di awal tahun)

Tak terasa setahun lamanya kami menghabiskan waktu di Ponorogo. Ya, berangkat ke Ponorogo tahun 2011 dan pulang lagi ke Surabaya tahun 2012. Kami berlima balik ke Surabaya dengan menggunakan bus. Aku pun duduk bersama temanku (Novan alias Cak Mbenk). Namun, tidak seperti Novan yg bisa tidur nyenyak di dalam bus, menutup mata sejenak dengan tenang rupanya cukup sulit bagiku, terlebih sehari sebelumnya ada kabar bahwasanya sebuah bus berinisial SK mengalami kecelakaan di Madiun dengan merenggut enam korban jiwa. Meskipun kami tidak naik SK, tapi tetap saja naik bus waktu itu terasa agak horor akibat berita kecelakaan tsb. Kalau ada kereta, pasti kereta akan menjadi pilihan. Bagiku, kereta adalah moda transportasi yang jauh lebih menyenangkan.

Terlelap sebentar saja sudah dikagetkan dengan bunyi klakson bus yg sering kali menjerit sepanjang perjalanan. Bus suka ‘mengusir’ kendaraan di depannya agar mudah untuk menyalip. Apalagi kalau klakson dibunyikan cukup panjang dan disertai dengan berhentinya bus secara tiba-tiba, cukup memacu adrenalin di malam hari. Pengemudi bus antar kota memang cukup dikenal sebagai pengemudi yang suka ngebut. Manuver dalam berkendara maupun jeritan-jeritan klakson sudah menjadi bumbu dalam pekerjaan yg mereka tekuni.

Berita tentang kecelakaan bus sudah tidak asing lagi terdengar di telinga. Entah siapa yang harus disalahkan. Yang jelas kesalahan tidak bisa dilimpahkan hanya kepada supir saja. Kebijakan dari manajemen PO disinyalir juga membuat para supir seperti kesetanan dalam mengendarai bus. Target setoran, lama perjalanan bus harus sesuai schedule dan gak boleh molor, alias kejar waktu dan target, walhasil kadang kehati-hatian dalam berkendara dikesampingkan.

Tidak tepat jika hanya menyalahkan para sopir bus. Kalau kata Quraish Shihab, pria itu akan lebih takut mati ketika ia memiliki anak dan istri. Mayoritas supir bus adalah pria yg sudah berkeluarga. Kalau sudah seperti itu, percayalah tidak ada supir yg berani mati. Karena dia pun juga sangat sayang akan nyawanya dan inginnya berhati-hati dalam berkendara. Namun apa daya, ada hal yg membuat mereka terpaksa.

Maka dari itu, harus ada pembenahan di tubuh PO. Pembenahan apa? pembenahan kultur dan struktur. Ibarat menyuruh orang membuang sampah, tidak mungkin menyuruh masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya jika ternyata tidak ada tempat sampah yg tersedia. Sama halnya dengan PO. Budaya berkendara hati-hati perlu digalakkan. Tapi tidak mungkin juga menyuruh para supir untuk mengemudi dengan hati-hati, sementara dia memang harus ngebut untuk kejar setoran. Pembenahan struktur disini bisa berupa pembenahan terkait kebijakan manajemen tentang gaji, kondisi kendaraan, standar supir, de el el. Tidak cukup sekedar menegur perusahaan bersangkutan, mencabut izin trayek, atau bahkan mencabut izin usaha. Kalau struktur tidak dibenahi, sekalipun bus SK dilarang dan ditarik dari peredaran, maka akan muncul PO – PO lain yg akan menggantikannya sebagai fasilitator malaikat izrail.

Bagaimana tidak? Coba tengok sekilas kondisi terkini di republik ini. Pada akhir tahun 2011 peringkat surat utang pemerintah RI naik menjadi investment grade setelah menunggu selama 13 tahun, yang ber-impact pada semakin derasnya aliran investasi dari luar negeri ke Indonesia. More investment, more jobs will be created. Saat negara lain sedang mengalami krisis dan resesi ekonomi. Indonesia ini malah tumbuh dengan perkasa. Sebagai konsekuensinya, pertumbuhan masyarakat kelas atas dan menengah di Indonesia semakin subur. Sehingga akan banyak muncul OKB (Orang Kaya Baru) beberapa tahun ke depan. Para pengusaha otomotif pun memperkirakan tahun 2012 penjualan mobil di Indonesia akan mencapai 1 juta unit, dan akan menumbangkan Thailand sebagai negara dengan tingkat penjualan otomotif tertinggi di asia tenggara.

Intinya, jumlah kendaraan yg berseliweran di jalan akan semakin banyak dalam beberapa tahun ke depan. Namun, pertambahan dan perluasan ruas jalan di tanah air lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan penjualan mobil. Bayangkan saja, jumlah jalannya bertambah sedikit, jumlah kendaraan di jalan semakin banyak, sedangkan para supir bus tetap harus ngebut. Bisa diperkirakan jumlah kecelakaan lalu lintas beberapa tahun ke depan jika kondisi tersebut memang terealisasi.

Dan tidak enak rasanya jika nanti ada orang bilang, kalau ingin menguji adrenalin, di jakarta kita bisa nyoba wahana tornado di dufan, tapi kalau di jatim uji adrenalinnya bisa dengan naik bus SK, hehe. Wallahu a'lam.