Minggu, 16 Oktober 2011

Cerita tentang Garam


Tahun 2010 yang lalu, media lokal di Madura ramai memberitakan merapatnya sebuah kapal asing di dermaga PT Garam Persero, Camplong, Sampang. Akhirnya diketahui kapal asal India itu melakukan aktivitas bongkar muat garam impor. Tak tanggung-tanggung banyaknya 9 ribu ton. Belum lagi, garam impor itu langsung di turunkan di Madura. Madura yang dikenal sebagai pulau penghasil garam, malah dikirimi garam.

Setahun setelah kejadian di atas, rupanya hal tersebut masih saja terjadi kembali. Akhir-akhir ini, polemik terkait garam pun mencuat kembali ke permukaan setelah terjadinya perseteruan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian perdagangan (Kemendag). kemendag yang dipimpin oleh Mari elka Pangestu membuka kran impor, sehingga para importir pun kembali memaksimalkan kebijakan ini dengan mendatangkan garam dari India.


Sebenarnya impor adalah hal bisa dimaklumi, mengingat memang porsi kebutuhan garam nasional yang cukup besar tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh pasokan domestik, sehingga impor pun menjadi shortcut untuk mengatasinya. Akan tetapi, yang membuat kecewa KKP yg saat ini dikomandani oleh Pak Fadel Muhammad adalah impor tersebut dilakukan ketika para petani sedang panen raya garam. Akibatnya, harga garam pun terjun bebas sehingga menyebabkan para petani garam menderita kerugian yang cukup signifikan.
 
Potensi garam indonesia

Data Kementerian Perindustrian menyebutkan, kebutuhan garam pada 2011 mencapai 2,975 juta ton, baik untuk industri maupun konsumsi. Sementara produksi sebesar 1,343 juta ton dan kekurangannya ditutupi melalui impor sebesar 1,632 juta ton. Indonesia adalah negara maritim yang mempunyai banyak potensi, terlebih memiliki garis pantai terpanjang nomor empat di dunia mencapai 95.181 kilometer, setelah Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia. Tapi mengapa masih harus beli garam ke India dan Australia?

Indonesia telah memiliki beberapa wilayah sentra produksi garam, yaitu Pati, Rembang, Demak (Jateng), Indramayu dan Cirebon (Jabar), Sampang, Pamekasan, Sumenep, Pasuruan (Jatim), Jeneponto (Sulsel), Bima (NTB), dan Kupang (NTT). Seperti halnya di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), potensi garamnya hampir sama dengan Australia. Garam bisa diproduksi disana selama sembilan bulan. Ini mengingat kondisi geografis di NTT yang terkenal memiliki iklim kering dan curah hujan rendah serta waktu hujan pendek, berkisar antara 3-4 bulan pada Desember hingga April.

Problematika

Menurut Direktur Industri Kimia Hulu, Kementerian Perindustrian, meski Indonesia adalah negara kepulauan, swasembada garam sulit tercapai. Hingga kini lahan yg tersedia belum mencukupi, sehingga sulit untuk memproduksi garam sesuai kebutuhan. Karena tidak semua masyarakat bisa menjadi petani garam. Kandungan mineral dalam air laut di masing-masing daerah tidak setinggi daerah madura, jawa, NTB atau NTT. di sumatera saja belum ada daerah potensial untuk tambak garam.

Lokasi pembuatan garam yang ideal adalah memenuhi persyaratan antara lain lokasi landai, kedap air, air laut dapat naik ke lahan tambak garam (dengan atau tanpa bantuan alat), konsentrasi air baku minimum. Lokasi juga bersih dari sumber air tawar, dengan curah hujan sedikit dan banyak sinar matahari untuk optimalnya penguapan air laut. Musim kemarau yang panjang akan memperkecil frekuensi turun hujan.

Salah satu wilayah yang memungkinkan untuk lahan garam adalah NTT. Namun, infrastruktur pelabuhan dan perkapalan untuk membawa produksi dari daerah tersebut belum memadai dan banyak yg harus diperbaiki, sehingga mempersulit rencana swasembada. Untuk swasembada garam dibutuhkan lahan sedikitnya 30 ribu hektar. Swasembada membutuhkan produksi hingga 3 juta ton setahun. Produktivitas lahan garam di Indonesia sekitar 70-80 ton per hektar, atau maksimum produktivitas mencapai 100 ton per hektar. Saat ini, lahan garam baru 19.658 hektar.

Produksi garam rakyat ini hanya dapat diharapkan selama musim kering saja, yang berjalan secara efektif selama kurang-lebih 3-4 bulan saja selain 1,5 bulan sebelumnya untuk masa persiapan produksi. Ada juga masalah teknologi pengolahan garam yang belum memadai sehingga membuat kualitas produksi rendah, terutama untuk garam kebutuhan industri yg membutuhkan garam dgn kualitas tinggi, sehingga mau tidak mau harus impor dari luar negeri ketika pasokan dari dalam negeri tidak mencukupi. Dan tak lupa pula, kebijakan impor yang berlebihan pada saat panen raya yg menekan harga garam, dan juga penetapan harga jual garam yg murah sehingga sangat merugikan petani.

Solusi selama ini

Pemerintah menarik investasi asing guna meningkatkan produksi garam berkualitas tinggi. Selain itu, juga adanya pengucuran dana Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) yg besarnya Rp 50 juta untuk masing-masing kelompok tani. Pemerintah juga telah menetapkan harga beli garam rakyat sebesar Rp750 ribu per ton untuk kualitas satu (KW-1) dan Rp550 ribu per ton untuk kualitas dua (KW-2). Pemerintah juga melarang pengusaha melakukan impor garam sebulan sebelum dan dua bulan sesudah masa panen garam rakyat. Namun, keputusan pemerintah untuk sementara layaknya 'macan kertas' alias tidak bertaji di lapangan.

Penutup

Bagaimana pun juga pemerintah menargetkan swasembada garam konsumsi pada 2012 dan swasembada garam industri pada 2015. Apakah bisa? Entahlah. Mengutip dari Peter Drucker,“Tidak ada negara yg kaya dan negara yg miskin, yg ada hanyalah negara yg salah urus dan negara yg diurus dgn benar”.