Selasa, 20 November 2012

Mengapa Harus Suka Membaca?


Membaca itu gampang dan semua orang bisa,namun yang mungkin agak sulit adalah memahami, mengolah kata dan menyerap makna yang terkandung didalam sebuah susunan kata-kata yang dibaca. Membaca tanpa berupaya untuk memahami adalah suatu pekerjaan yang membuang-buang waktu. Pemahaman yang baik adalah tujuan dari membaca. Bahkan imam ghazali pernah berkata, kalau kita ingin mendalami suatu kitab maka bacalah kitab tersebut sampai tiga kali. Hal tersebut dilakukan agar diperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai hal yang sedang dikaji.
Pada saat ini, urgensi membaca bagi semua orang terutama para pelajar tidak perlu dipertentangkan lagi. Dalam artian membaca sudah menjadi sebuah keharusan. Membaca dan belajar tanpa berpikir adalah suatu pekerjaan yang sia-sia. Sedangkan belajar tanpa berpikir dan membaca adalah suatu perbuatan yang berbahaya. Apakah membaca sekedar merupakan hobi? Tidak. Karena membaca kadang kala menjelma menjadi lebih dari sekedar hobi, yaitu kebutuhan. Membaca sudah merupakan kebutuhan bagi seseorang terutama bagi mereka yang sedang menuntut ilmu. Namun demikian, bagi sebagian kalangan membaca dianggap sebuah aktifitas yang menjemukan. Hal tersebut tak dapat dipungkiri mengingat masih banyak orang yang belum menemukan manfaat yang berarti dari membaca.
Membaca sesungguhnya memiliki banyak manfaat jika senantiasa dijadikan sebagai hal yang tak terpisahkan dari aktifitas sehari-hari. Misalnya, dengan intensitas membaca yang tinggi, maka dengan sendirinya akan membuat seseorang semakin fasih dalam menuangkan gagasan, saran maupun pemikiran baik via lisan maupun tulisan.
Kemahiran dalam berkomunikasi secara verbal tersebut meningkat seiring dengan semakin bertambahnya perbendaharaan kata yang dimiliki seseorang. Tanpa disadari terkadang ketika memberikan sebuah ulasan atau penjelasan akan suatu hal, orang lain dapat dengan mudah menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh pembicara.
Membaca dapat memberikan kenikmatan tersendiri bagi jiwa. Ketika sedang dirundung kesedihan, membaca buku yang berisi kumpulan taushiyah maupun nasihat keagamaan lainnya bisa menimbulkan kesejukan hati bagi pembacanya. Membaca juga merupakan sebuah wisata pikiran. Melalui membaca, seseorang bisa pergi ke mana saja tanpa dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Pemikiran orang-orang terdahulu bahkan ratusan tahun silam, masih bisa dipelajari oleh manusia zaman sekarang dengan membaca.
Membaca akan mengisi otak, membentuk karakter hingga memberi corak dalam cara berpikir. Selain itu, dengan membaca orang bisa mengambil manfaat dari kearif bijaksanaan dan pengalaman orang lain. Seseorang tidaklah punya cukup waktu untuk mengalami pengalaman itu sendiri. Maka dari itulah mempelajari pengalaman yang telah dialami oleh orang lain akan menjadi sesuatu yang berharga agar dapat juga memetik hikmahnya.
Membaca dapat memberikan pencerahan baru pada pemikiran seseorang. Tak jarang pikiran digelayuti oleh persoalan sementara solusi untuk memecahkannya tak kunjung pula ditemukan. Termasuk juga pada seseorang yang sedang menjalani rutinitas yang membosankan. Membaca kerap kali menjadi solusi dalam mengatasi pelbagai permasalahan yang dihadapi. Membaca juga penting karena membuat seseorang menjadi lebih mandiri dalam mencari pengetahuan. Asalkan memiliki daya paham yang baik, ketergantungan pada les, kursus dan sebagainya bisa diminimalisir.
Lan Fang pernah berkata,”Jika kau ingin melihat dunia, maka membacalah. Jika kau ingin dilihat dunia maka menulislah”. Membaca dan menulis memiliki keterikatan yang sangat erat. Diakui atau tidak, intensitas membaca di kalangan masyarakat kita terbilang rendah. Jika dilihat dari jumlah pembaca surat kabar di Indonesia. Idealnya, satu surat kabar dibaca oleh 10 orang. Namun, di Indonesia, satu surat kabar dibaca oleh 45 orang. Indonesia juga masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti Filipina 1:30 atau Sri Lanka 1:38. Intensitas membaca yang rendah tersebut juga memberikan dampak negatif pada intensitas menulis masyarakat.
International Publishers Association of Canada menyebutkan, produktivitas pengarang umum di luar buku pelajaran sudah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 1999, para pengarang Indonesia mampu memproduksi 9.000 judul buku. Tahun 2004, cuma sekitar 5.000 judul buku setiap tahun. Bandingkan dengan Malaysia (15.000 judul buku), Jepang (65.000 judul), Jerman (80.000 judul) dan Inggris (100.000 judul) setiap tahun.
Berkaca dari hal di atas, Pentingnya membaca haruslah segera kita sadari sehingga memupuk semangat untuk menelaah dan mengkaji bahan-bahan bacaan. Apakah membaca harus berupa buku? Membaca tidak harus berupa buku. Banyak bahan bacaan yang bisa dibaca, misalnya surat kabar. Membaca surat kabar juga penting bagi kita karena kita bisa terus mengikuti perkembangan-perkembangan aktual, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Kita akan mengetahui berita-berita aktual apa yang lagi hangat setiap harinya dengan membaca surat kabar.  Lho, apakah kita perlu mengetahui perkembangan-perkembangan nasional? Ya, perlu, bahkan harus. Bukankah kita adalah para calon pemimpin bangsa yang kelak menduduki posisi kepemimpinan di negeri Indonesia ini? Kita perlu ”membaca” Indonesia melalui surat kabar agar dapat mengambil pelajaran dan pengalaman berharga. Harapannya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang. Wallahu ‘alamu bis showab.

Minggu, 11 November 2012

Diawali dengan Godaan, Diselingi dengan Kegalauan, Diakhiri dengan Pengabdian


Bolak-balik ditelpon berbagai perusahaan entah dari Jakarta maupun Surabaya. Hal tersebut sepertinya juga banyak dialami oleh lulusan (fresh graduate) yang lain. Motifnya sama yakni mau direkrut. Dan berulang kali pula aku harus menolaknya dengan halus. Tak jarang perusahaan-perusahaan itu tidak mau menyerah. Keesokan hari masih saja menelpon lagi. Kalau sudah seperti itu, maka jawaban yg paling tepat adalah, “Maaf pak, saya sudah memiliki pekerjaan tetap”. Yah, dijamin gak bakal ditelpon lagi :D. Pengalaman yang menyenangkan. Sementara orang-orang lain pada sibuk mencari pekerjaan dan melamar kesana kemari. Lha ini malah bolak-balik menolak pekerjaan. Guaya tenan. Sebenarnya eman. Apalagi kalau yg nawari termasuk kategori oil and mining companies, duh starting salary-nya itu lho, bikin galau. Ya, aku benar-benar GALAU. Aku mau ngabdi, kok malah sering digoda.

Ada lagi. Akhir Februari 2012. Beberapa hari setelah aku sidang skripsi pun, Pak Fanani, salah seorang dosen akuntansi, menelponku dan bilang kalau aku dicari Pak Agus dan diminta segera menghadap ke departemen. Pak Agus adalah ketua departemen akuntansi. Beliaulah yang dulu memintaku untuk pindah ke English Class ketika aku masih semester 1. Dan akhirnya, semester 2 pun aku menuruti beliau. Beliau juga orang yang suka nggojloki aku jika tak sengaja berpapasan di kampus lantaran skripsi tak kunjung usai. Maklum kuliahku molor hingga semester sembilan “Vick, Vick. Gak lulus lulus. Ayo ndang cepet dimarikne skripsine.” Aku pun cuma bisa mencium tangan beliau dan kemudian sambil tersenyum bilang, “nggeh, pak” J.

Aku sudah bisa menebak apa yang akan menjadi bahan pembicaraan. Ya aku pun mengingat-ingat kalau setahun yang lalu, Februari 2011, saat kuliahku masih semester 7. Kebetulan pada saat itu aku jadi narasumber sebuah talkshow di Radio Suara Surabaya FM (SSFM) pernah nyeletuk kalau setelah lulus mau jadi akademisi. Spontan, setelah talkshow tersebut usai, ada 3 orang dosen dari 3 departemen yang berbeda di FEB langsung mengirimkan pesan baik via sms maupun FB yang isinya mendukung saya untuk jadi akademisi. Rupanya mereka secara tidak sengaja juga mendengarkan talkshow tersebut.

Ternyata benar. Begitu masuk ke ruang departemen, Pak Agus pun langsung menggiringku masuk ke suatu ruangan. Ternyata sudah ada 3 orang dosen disana. Intinya, pak Agus dan beberapa rekan dosen memintaku untuk bersedia mengajar di FEB UNAIR, tepatnya di D-3. Karena lulusan S-1 tidak boleh mengajar mahasiswa S-1. Sambil mengajar di UNAIR ketika weekdays, beliau pun juga meminta saya kuliah S-2 di UB Malang ketika weekend. Godaan dari kampus ini juga menarik. Dan aku pun GALAU lagi. Aku mau ngabdi, kok malah terus digoda.

“Bentar, pak. Tapi saya setelah lulus dari kampus ini punya kewajiban untuk kembali ke pondok dan mengabdi disana”, kataku. Pak Agus dan dosen yang lain pun mafhum akan hal itu tapi mereka tetap bersikukuh untuk merekrut dan bahkan bersedia untuk menyesuaikan jadwalku di kampus dengan jadwal di pondok nantinya. Yang penting aku mau kembali ke kampus. Aku belum bisa memberikan jawaban. Karena bagaimanapun juga aku harus sowan ke pengasuh terlebih dahulu.

Segera setelah itu, aku pun sowan ke pengasuh pondok. Singkat cerita, dengan berbagai pertimbangan, pondok pun belum memberikan lampu hijau untuk kembali Ke kampus. Khawatir kalau waktu dan tenagaku nantinya habis buat ngajar di UNAIR dan berkuliah di UB. Pengabdian di pondok pun tidak akan maksimal. Baiklah, sami’na wa atho’na. Aku pun segera menemui pak Agus dan menyampaikan maaf karena tidak bisa memenuhi permintaan beliau. Case is closed.

Well, udah dulu deh curhat tentang kegalauannya, selanjutnya tentang pengabdian aja. Galau jangan dibiarin lama-lama. Secepatnya ngabdi, harus sibuk, menyibukkan diri atau sok sibuk, pokoknya MOVE ON, nanti juga lupa kalau pernah galau :D. Saya mau ngelist dulu apa aja kegiatan saya ketika ngabdi.


1 April 2012. Aku resmi mulai mengabdi. Aku ngabdi di dua tempat. PP. Nurul Huda dan PP. Al-Fithrah. Nurul Huda adalah almamaterku dulu. Pondok kecil yang terletak di sebelah timur masjid agung Sunan Ampel. Santrinya pun sekitar 150 orang. Sebagian besar waktuku dihabiskan di Nurul Huda. Sedangkan Al-Fithrah adalah sebuah pondok besar dengan santri sekitar 2000 orang. Pondok tersebut adalah markas dari thoriqoh qadiriyah naqsabandiyah yang memiliki sekitar 600 ribu jamaah. Tugas utamaku di dua pondok tersebut adalah mengajar. Di Nurul Huda kalau ngajar pakai celana, atasan berupa jas/kemeja/batik, dan saya dipanggil pak guru. Sedangkan di Al-Fithrah kalau ngajar pakai sarung, baju takwa putih dan kopyah putih, dan saya dipanggil ustadz :D.

Kebetulan April adalah bulan dimana UN dilaksanakan. Aku pun ditugaskan untuk jadi pengawas UN di sekolah lain. Mengawasi UN bersama-sama dengan guru-guru dari sekolah lain. Sering kali aku mendapatkan pertanyaan, “guru baru ya mas?”, kalau dijawab iya, nanti ditanya lagi “lulusan dari mana mas, UNESA ya?”, kalau udah dikasih tahu lulusan dari kampus mana dan jurusan apa, muncul lagi pertanyaan susulan, “lho masnya kok mau jadi guru? Tidak kerja di bank saja.” Saya sampai bosan untuk menjawabnya. Hadeeehh.

Langsung saja, berikut daftar kegaiatan saya selama di pondok. Pertama, ngajar ekonomi. Aku ngajar di semua kelas. Kelas 1, 2 & 3 di SMA Nurul Huda. Aku juga meminta kepada kepala sekolah untuk tidak melakukan pengadaan buku ekonomi. Karena aku berinisiatif untuk membuatnya sendiri. Dan alhamdulillah, untuk semester gasal buku pelajaran tersebut udah rampung, tinggal yang semester genap yg masih dalam proses penulisan. Mumpung masih muda. Ilmu yang diperoleh di bangku kuliah masih segar.

Kedua, menjadi wali kelas di kelas 3 SMA Nurul Huda. Yah, kepala sekolah saya ingin kelas 3 dipegang oleh anak muda yg enerjik. Dan sepertinya saya kelihatan enerjik :D. Saya pasrah, apa aja yag ditugaskan ke saya, biasanya saya terima tanpa melakukan perlawanan yg berarti. Istilahnya anak jekardah, “Lo jual, gua beli”. Sebagai wali kelas saya harus sering-sering ngompori semangat belajar mereka. Baik untuk menghadapi UN maupun persiapan hendak lanjut ke perguruan tinggi. Saya harus membuka wawasan mereka selebar-selebarnya tentang pentingnya pendidikan tinggi. Juga sebagai tempat menampung keluh-kesah mereka, nyidang murid yang bermasalah, nginput nilai dan data-data lainnya untuk rapor yang jumlahnya mencapai ratusan lembar, dan lain-lain.

Ketiga, ngajar bahasa inggris di kelas 1 SMP Nurul Huda. Aduh... Ini benar-benar aku kurang telaten. Murid-murid yang hyper aktif. Setiap kali mengajar yang saya pikirkan bukan ‘apa’ yang mau saya ajarkan, tapi ‘bagaimana’ saya mengajar. Mengajar anak SMP jelas-jelas lebih menguras tenaga dibandingkan mengajar anak SMA. Menguasai materi pelajaran itu mudah, nah yang sulit itu menguasai kelas. Jika aku diibaratkan HP yg baterainya full, maka begitu selesai ngajar di kelas 1 SMP, HP tersebut baterainya langsung nge-drop L.

Keempat, ngajar ekstra kurikuler bahasa inggris kelas 3 Aliyah putra dan putri PP. Al-fithrah. Pengajaran lebih ditekankan pada speaking dan reading. Beruntung setelah siang harinya ngajar bahasa inggris di SMP kelas 1, sorenya ngajar di Aliyah putri. Nah, karena sebelumnya baterainya udah dibikin nge-drop, pas yang ini bolehlah disebut recharging process. LOL :D

Kelima, jadi pendamping intensive class (English club) putra PP. Al-fithrah. Ini diperuntukkan bagi santri putra yg senior saja. Lebih banyak diisi dengan diskusi, entah diskusi tentang materi-materi keislaman maupun tema-tema kontemporer lainnya.

Keenam, jadi tim pengelola website Nurul Huda. Kebetulan ada anak CSS MoRA ITS yang juga mengabdi di pondok saya. Dia membenahi sistem administrasi di pondok, termasuk juga merombak total website. Dia dan saya pun langsung ditunjuk oleh pengasuh untuk menjadi pengelola utama website tersebut. Belum genap sebulan. Kami diplot menjadi dewan redaktur, sekaligus kontributor tulisan, sekalian reporter untuk kegiatan-kegiatan yang dihelat pondok maupun unit-unit pendidikan yang berada di bawahnya. Untuk meringankan beban kinerja, baru-baru ini kami pun merekrut anak-anak SMP dan SMA. Mereka saya latih tentang jurnalistik. Mengamalkan ilmu yang dulu diperoleh ketika berkecimpung di An-Nihayah dan Warta UNAIR.


Selain itu ada lagi hal-hal insidentil yang juga saya lakukan seperti menjadi pembimbing olimpiade. Baru terealisasi sekali yaitu ketika membimbing anak-anak ikut olimpiade ekonomi syariah di UNAIR. Walhasil, hasilnya belum beruntung. Tapi tidak apa-apa. At least, sudah bisa membuka wawasan mereka untuk berkompetisi di dunia luar. Tidak jadi katak dalam tempurung. Biar tidak seperti guru ekonominya, yang baru merasakan yang namanya lomba/kompetisi setelah masuk ke dunia perkuliahan. Selain itu, saya pernah juga menjadi tim persiapan akreditasi, ikut berbagai seminar pendidikan, ikut Uji Kompetensi Guru (UKG), dan lain-lain.

Alhamdulillah pihak sekolah maupun pondok selalu mendukung apa yang saya lakukan. Mau melakukan ini, disetujui. Mau melakukan itu, disetujui. Saya masih memiliki beberapa rencana kegiatan. Yakni membentuk English club di SMA Nurul Huda. Sudah disetujui oleh kepala sekolah, tapi belum dimulai juga karena kerepotan cari waktu yg tidak bentrok dengan kegiatan yang lain. Selain itu, saya juga ingin membentuk KIR. Biar anak-anak punya wadah untuk membuat karya tulis ilmiah. Biar para santri tahu tulis-menulis.

Alhamdulillah terhitung 7 bulan sudah aku menjalani pengabdian di pondok. Ya, ini pengabdian bukan pekerjaan. Dan alhamdulillah masih bisa hidup meskipun nggak kerja :D. Insya Allah kalau dijalani masa tiga tahun itu singkat. Para asatidz yang telah mengabdikan dirinya selama belasan bahkan puluhan tahun saja masih merasa belum memberikan apa-apa bagi pondok, apalagi saya yang cuma 3 tahun berada di sini. Saya tidak tahu kehadiran saya di sini memberikan manfaat atau tidak. Yang bisa saya lakukan hanyalah belajar ikhlas dan terus berusaha memberikan apa yang bisa saya berikan.

You Never Walk Alone. Saya bukan penggemar Liverpool, tapi jujur saya sangat menyukai jargon klub yg satu ini. Keren sekali. Memang, You Never Walk Alone. Ada teman-teman KD yang juga saling memberikan support, dan pastinya ada Allah yang selalu membimbing setiap langkah yang kita lalui. He Knows The Best For Us. Jalani apa yang harus dijalani, karena janji Allah itu jelas. In tanshurullah, yanshurkum.

Ini cerita pengabdianku, ayo bagikan cerita pengabdianmu. Glory Glory CSS MoRA UNAIR ^_^

VicVen/Accounting EC/FEB’07