Membaca itu gampang dan semua orang bisa,namun yang mungkin agak sulit adalah memahami, mengolah kata dan menyerap makna yang terkandung didalam sebuah susunan kata-kata yang dibaca. Membaca tanpa berupaya untuk memahami adalah suatu pekerjaan yang membuang-buang waktu. Pemahaman yang baik adalah tujuan dari membaca. Bahkan imam ghazali pernah berkata, kalau kita ingin mendalami suatu kitab maka bacalah kitab tersebut sampai tiga kali. Hal tersebut dilakukan agar diperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai hal yang sedang dikaji.
Pada saat ini, urgensi membaca bagi semua orang terutama para pelajar tidak perlu dipertentangkan lagi. Dalam artian membaca sudah menjadi sebuah keharusan. Membaca dan belajar tanpa berpikir adalah suatu pekerjaan yang sia-sia. Sedangkan belajar tanpa berpikir dan membaca adalah suatu perbuatan yang berbahaya. Apakah membaca sekedar merupakan hobi? Tidak. Karena membaca kadang kala menjelma menjadi lebih dari sekedar hobi, yaitu kebutuhan. Membaca sudah merupakan kebutuhan bagi seseorang terutama bagi mereka yang sedang menuntut ilmu. Namun demikian, bagi sebagian kalangan membaca dianggap sebuah aktifitas yang menjemukan. Hal tersebut tak dapat dipungkiri mengingat masih banyak orang yang belum menemukan manfaat yang berarti dari membaca.
Membaca sesungguhnya memiliki banyak manfaat jika senantiasa dijadikan sebagai hal yang tak terpisahkan dari aktifitas sehari-hari. Misalnya, dengan intensitas membaca yang tinggi, maka dengan sendirinya akan membuat seseorang semakin fasih dalam menuangkan gagasan, saran maupun pemikiran baik via lisan maupun tulisan.
Kemahiran dalam berkomunikasi secara verbal tersebut meningkat seiring dengan semakin bertambahnya perbendaharaan kata yang dimiliki seseorang. Tanpa disadari terkadang ketika memberikan sebuah ulasan atau penjelasan akan suatu hal, orang lain dapat dengan mudah menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh pembicara.
Membaca dapat memberikan kenikmatan tersendiri bagi jiwa. Ketika sedang dirundung kesedihan, membaca buku yang berisi kumpulan taushiyah maupun nasihat keagamaan lainnya bisa menimbulkan kesejukan hati bagi pembacanya. Membaca juga merupakan sebuah wisata pikiran. Melalui membaca, seseorang bisa pergi ke mana saja tanpa dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Pemikiran orang-orang terdahulu bahkan ratusan tahun silam, masih bisa dipelajari oleh manusia zaman sekarang dengan membaca.
Membaca akan mengisi otak, membentuk karakter hingga memberi corak dalam cara berpikir. Selain itu, dengan membaca orang bisa mengambil manfaat dari kearif bijaksanaan dan pengalaman orang lain. Seseorang tidaklah punya cukup waktu untuk mengalami pengalaman itu sendiri. Maka dari itulah mempelajari pengalaman yang telah dialami oleh orang lain akan menjadi sesuatu yang berharga agar dapat juga memetik hikmahnya.
Membaca dapat memberikan pencerahan baru pada pemikiran seseorang. Tak jarang pikiran digelayuti oleh persoalan sementara solusi untuk memecahkannya tak kunjung pula ditemukan. Termasuk juga pada seseorang yang sedang menjalani rutinitas yang membosankan. Membaca kerap kali menjadi solusi dalam mengatasi pelbagai permasalahan yang dihadapi. Membaca juga penting karena membuat seseorang menjadi lebih mandiri dalam mencari pengetahuan. Asalkan memiliki daya paham yang baik, ketergantungan pada les, kursus dan sebagainya bisa diminimalisir.
Lan Fang pernah berkata,”Jika kau ingin melihat dunia, maka membacalah. Jika kau ingin dilihat dunia maka menulislah”. Membaca dan menulis memiliki keterikatan yang sangat erat. Diakui atau tidak, intensitas membaca di kalangan masyarakat kita terbilang rendah. Jika dilihat dari jumlah pembaca surat kabar di Indonesia. Idealnya, satu surat kabar dibaca oleh 10 orang. Namun, di Indonesia, satu surat kabar dibaca oleh 45 orang. Indonesia juga masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti Filipina 1:30 atau Sri Lanka 1:38. Intensitas membaca yang rendah tersebut juga memberikan dampak negatif pada intensitas menulis masyarakat.
International Publishers Association of Canada menyebutkan, produktivitas pengarang umum di luar buku pelajaran sudah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 1999, para pengarang Indonesia mampu memproduksi 9.000 judul buku. Tahun 2004, cuma sekitar 5.000 judul buku setiap tahun. Bandingkan dengan Malaysia (15.000 judul buku), Jepang (65.000 judul), Jerman (80.000 judul) dan Inggris (100.000 judul) setiap tahun.
Berkaca dari hal di atas, Pentingnya membaca haruslah segera kita sadari sehingga memupuk semangat untuk menelaah dan mengkaji bahan-bahan bacaan. Apakah membaca harus berupa buku? Membaca tidak harus berupa buku. Banyak bahan bacaan yang bisa dibaca, misalnya surat kabar. Membaca surat kabar juga penting bagi kita karena kita bisa terus mengikuti perkembangan-perkembangan aktual, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Kita akan mengetahui berita-berita aktual apa yang lagi hangat setiap harinya dengan membaca surat kabar. Lho, apakah kita perlu mengetahui perkembangan-perkembangan nasional? Ya, perlu, bahkan harus. Bukankah kita adalah para calon pemimpin bangsa yang kelak menduduki posisi kepemimpinan di negeri Indonesia ini? Kita perlu ”membaca” Indonesia melalui surat kabar agar dapat mengambil pelajaran dan pengalaman berharga. Harapannya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang. Wallahu ‘alamu bis showab.