Kamis, 21 Juli 2011

Bunga Bank Haram? Masa Bodoh Ah...

Bank adalah sebuah institusi yang menjalankan 3 fungsi utama, yakni menghimpun dana dari masyarakat, menyalurkan dana pada masyarakat dan memberikan pelayanan jasa. Adapun tren yang sedang mencuat sekarang ini adalah dengan munculnya bank syariah. Kemunculannya sendiri di Indonesia diawali dengan berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1991. Para founding fathers cenderung lebih memilih istilah bank syariah meskipun diluar negeri namanya Islamic Bank (Bank islam) hal tersebut dilakukan demi meminimalisir potensi konflik SARA.

Sebenarnya, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia jauh ketinggalan dalam hal tersebut. Tercatat sejak tahun 1983 Bank islam Malaysia Berhad (BIMB) berdiri di negeri jiran, ini adalah debut awal bank syariah di Tanah melayu tersebut. Dan pada tahun yang sama berdiri pula The Islamic International Bank of Denmark yang merupakan bank syariah pertama di ranah eropa. Dan hingga saat ini bank-bank di Eropa dan Amerika terus-menerus menambah gerai bank syariah (Shariah Window). Nasabahnya pun ternyata bukan hanya muslimin dan muslimaat. Statistically, 60% nasabah bank syariah di Singapura adalah non-muslim. Hal ini mengindikasikan bahwasanya islam adalah rahmatan lil ‘alamin dan bukan hanya untuk umat muslim saja.

Bagaimana tanggapan islam akan bank? Bukannya bank itu bid’ah? Toh pada zaman Rasul bank itu tidak ada. Ada satu kaidah fiqh yang menyatakan “Maa laa yatimmul wajib illa bihi fahuwa waajibun”. Sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (melakukan kegiatan ekonomi) adalah hal yang wajib. Dan karena pada zaman modern sekarang ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan pun wajib diadakan.

Pada tahun 2002, MUI mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah haram. Seluruh bank konvensional di Indonesia menjadi panik. Mereka takut akan terjadi penarikan dana besar-besaran (capital flight) yang dilakukan oleh para nasabah yang notabene mayoritas muslim. Begitu halnya bank syariah. Mereka juga pusing kalau-kalau nasabah yang menarik dananya dari bank konvensional kemudian mengalihkannya ke bank syariah. Bank syariah akan kebanjiran dana yang belum terpikirkan mau diapakan nantinya dana-dana peralihan itu. Tapi apa yang terjadi? Biasa aja. Tidak ada yang heboh. Di bank konvensional tidak ada penarikan dana besar-besaran. Di bank syariah juga tidak ada penempatan dana besar-besaran. Mengapa hal itu terjadi? Edukasi. Itulah jawabannya. Para nasabah muslim belum mengenal apa itu bank syariah dan bagaimana cara mengaksesnya. Bahkan ada sebagian dari mereka yang berpikir bahwa bank syariah itu sama saja dengan bank konvensional cuma ditambah dengan embel-embel syariah biar kelihatan islami.

Padahal dalam tataran teoritis dan praktis kedua jenis bank tersebut amatlah berbeda. Bank konvensional memakai sitem bunga dalam kegiatan operasionalnya. Mereka menghimpun dana dengan memberikan imbalan bunga kepada nasabah penabung. Mereka juga menyalurkan dana dengan membebankan bunga yang lebih tinggi kepada nasabah peminjam. Prinsip bunga amatlah ditentang oleh islam. Kalau pada zaman jahiliyah dulu dikenal adanya riba. Terutama riba nasi’ah yang tak lain adalah riba yang paling masyhur dipraktekkan pada zaman tersebut.

Riba nasi’ah terjadi apabila ada penangguhan/penundaan pembayaran hutang dari debitur ke kreditur. Misal, seorang debitur berhutang 10 juta kepada kreditur dan berjanji akan melunasinya 10 hari kemudian. Maka, setelah lewat masa 10 hari kreditur akan menagihnya kepada debitur. Jika debitur mampu membayar pada saat ditagih maka ia (debitur) cukup membayar 10 juta saja. Tetapi jika debitur tersebut tidak bisa mengembalikan uang yang dijanjikan pada saat ditagih, maka ia harus membayar lebih dari nominal awal hutangnya (10 juta) untuk dibayarkan di lain waktu akibat penangguhan pembayaran hutang (deferred payment). Adapun sekarang ini ada instrumen yang lebih jahat dari riba nasi’ah. Ya, itulah bunga bank.

Bank (kreditur) yang memberikan pinjaman kepada nasabah (debitur) langsung mensyaratkan pembayaran yang melebihi jumlah uang pinjaman pada saat pertama kali negosiasi. Tanpa terlebih dahulu memberikan jangka waktu untuk melunasi hutang sebagaimana halnya riba nasi’ah, bank konvensional malah langsung membebankan sejumlah bunga yang biasanya dalam bentuk prosentase kepada debitur. Kalo pinjam sekian dgn jangka waktu pelunasan sekian maka bunganya sekian. Semakin lama jangka waktu pelunasan semakin besar pula bunga yang harus dibayarkan oleh debitur.

Hal ini bertentangan dengan prinsip ta’awun dan keadilan dalam islam. Orang pinjam uang kan biasanya adalah orang lagi susah yang membayar pokok hutangnya saja belum tentu dia mampu kok malah dipersusah dengan membayar bunga. Selain itu belum tentu pula dana yang dipinjam oleh debitur kalau ia gunakan untuk bisnis dapat menghasilkan untung. Ada 3 kemungkinan tatkala debitur tersebut menggunakan  dana pinjaman untuk berbisnis: untung, rugi atau impas. Penerapan bunga jelas-jelas tidak mempedulikan jerih payah usaha debitur. Mau debitur usahanya untung atau merugi, bank haruslah tetap untung.

Hal ini berbeda sekali dengan bank syariah yang menghimpun dana dari masyarakat dengan menggunakan akad wadi’ah yadud dhamanah (titipan) dan mudharabah (bagi hasil) yang termanifestasi dalam tabungan syariah, giro syariah maupun deposito syariah. Adapun penyaluran dananya lebih variatif dengan menggunakan akad mudharabah (bagi hasil), musyarakah (join modal/keahlian), murabahah (jual dgn cicilan), ijarah (sewa), qard (pinjaman non-komersil) dll. Ada juga pelayanan jasa yang berupa hiwalah (pengalihan piutang), wakalah (perwakilan), kafalah (perwakilan bersyarat), rahn (gadai) dll. Satu contoh, misal ada seorang debitur yang menginginkan  pembiayaan bank syariah menggunakan akad mudharabah (profit and loss sharing). Sesuai dengan namanya, tatkala debitur mendapatkan profit maka harus di-share bersama dgn bank syariah (keditur) sebaliknya juga tatkala debitur menderita kerugian dalam aktivitas bisnisnya maka kerugian tersebut ditanggung bersama-sama antara kreditur dan debitur.

Semua akad yang digunakan oleh bank syariah murni digali dari literatur klasik fiqh muamalah yang dimodifikasi sedemikian rupa demi memenuhi tantangan dan kebutuhan zaman modern sekarang ini. Adapun inovasi produk-produk perbankan syariah terus-menerus dilakukan. Dikarenakan dalam hal muamalah segala sesuatu itu diperbolehkan kecuali ada dalil-dalil yang mengharamkannya sebagaimana dalam suatu kaidah fiqh “Al-ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad daliilu ‘ala tahrimiha”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar