Selasa, 29 Mei 2012

Mesin Uang Kaum Sarungan

Kebanyakan dari kita akan berpikir tentang bisnis skala mikro dan kecil ketika mendengar kata "koperasi". Paradigma orang tentang koperasi masih berkutat sekitar urusan bisnis yang kecil, ditangani lembaga yang kecil, dan seringkali bikin repot pemerintah karena selalu minta subsidi dan bantuan lainnya. Lantas, bagaimana jika koperasi kecil tersebut memiliki aset hampir Rp 75 Milyar, memiliki cash flow yang besarnya hampir Rp 350 Milyar. Dengan estimasi growth per tahun 25%, bisa dipastikan pada tahun 2016, cash flownya mencapai Rp 1 Triliun. Ya, itulah BMT MMU Sidogiri. Sebuah Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) yang berbasis pesantren di daerah Pasuruan.

BMT MMU sukses memanfaatkan dengan baik jaringan alumni yang tersebar di berbagai daerah terutama di Jawa Timur, meskipun saat ini masih mengandalkan “emotional market”. BMT yang mulanya berscope kabupaten tersebut bahkan mengubah statusnya untuk ekspansi hingga scope provinsi pada tahun 2009. Total cabang yang dimiliki sebanyak 35 unit. Diantaranya, 25 cabang di pasuruan, 3 di probolinggo, 3 malang, 2 di mojokerto, 1 surabaya dan 1 gresik. BMT yang laporan keuangannya dinilai Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tersebut juga telah mengakuisisi sebuah BPRS, yakni BPRS Untung Surapati di Bangil.

Sebagian besar kegiatan bisnis di Indonesia terdiri atas usaha kecil dan menengah (UKM).  Pada tahun 2007, jumlah usaha kecil mencapai lebih dari 91 persen dari keseluruhan bisnis, atau  berjumlah  sekitar 44 juta usaha. Maka dari itu, pengembangan BMT/KJKS di Indonesia memiliki kontribusi besar dalam pengembangan perekonomian bangsa. Terbukti berdasarkan data Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (PINBUK) menyebutkan jika total aset BMT di tahun 2010 telah capai Rp 4 triliun.  Sementara nasabah yang telah terlayani mencapai 3 juta orang. Dengan jumlah aset tersebut diperkirakan ada 3.900 BMT yang beroperasi dan tersebar diseluruh masyarakat. BMT lebih menyasar masyarakat kelas bawah sebagai anggotanya.

Namun  demikian,  ada hal yang lebih  beragam  sehubungan dengan eksistensi BMT. Beberapa BMT berkembang pesat dan terus memperluas bisnisnya sementara beberapa BMT lain terancam bangkrut karena beberapa hal yang menghambat. Berikut beberapa tantangan yang dihadapi oleh BMT secara umum.

Sekelumit Tantangan yang dihadapi

Pertama, Sumber Daya Manusia (SDM). Dunia perkoperasian yang kekurangan tenaga profesional mungkin akan stagnan. Sebab, tidak ada inovasi maupun kreativitas untuk menggerakkan roda usaha lebih cepat lagi. Salah satu sebabnya adalah faktor gaji. Gaji yang belum memadai dibandingkan dengan usaha swasta lain yang berada pada level sama. Bahkan, gaji karyawan koperasi/BMT masih kerap ditemukan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Padahal SDM yang dibutuhkan idealnya menguasai dua dimensi ilmu. Yakni, pengetahuan tentang syariah muamalah dan tentang ekonomi dan keuangan secara praktis.

Kedua, pemasaran. Inovasi di bidang pemasaran yang kurang karena umumnya kualitas SDM yang rendah dan dana yang terbatas. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pemasaran dan jaringannya kedodoran. BMT harus berhadapan dengan bank-bank, baik konvensional maupun syariah yang jaringan dan group marketingnya dilengkapi dengan instrumen dan SDM yang canggih dan terlatih. Apalagi setelah bank-bank itu juga turun mengurusi usaha kecil dan mikro, maka koperasi BMT kian terpukul ke pojok. BMT tidak akan menang kalau berhadapan dengan Bank Syariah dan BPRS.

Ketiga, permodalan. Untuk bisa maju dan besar, maka perlu modal besar juga. Bagaimana mungkin sebuah koperasi BMT akan bisa besar dan maju dalam melayani masyarakat kecil, jika modalnya pas-pasan? Diperlukan usaha terpadu, baik di kalangan koperasi sendiri maupun pemerintah dalam menggalang peningkatan modal dalam rangka peningkatan layanan kepada masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan Linkage Programming dengan bank syariah. semisal, yang dilakukan oleh BMT MMU dan Bank BNI syariah, dimana BNI syariah menyalurkan dana sebesar Rp 5 Miliar kepada BMT MMU untuk penguatan modal agar bisa memberikan pembiayaan yang lebih banyak lagi kepada masyarakat. Atau bisa juga seperti yang dilakukan oleh Induk Koperasi Syariah (Inkopsyah) dengan menerbitkan sukuk senilai 1 trliun dengan jangka waktu 10 tahun. Dengan strategi linkage programming, bank syariah tidak usah turun ke bawah sehingga harus berkompetisi face-to-face dengan BMT. Canibalism antar lembaga keuangan bisa dihindari.

Keempat, Lembaga Penjamin Simpanan dan Pasar Uang bagi BMT. Tidak seperti bank yang didukung oleh lembaga penjamin simpanan apabila terjadi likuidasi, BMT tidak memiliki dukungan yang sama. Demikian pula lembaga yang bertindak selaku lender of the last resort alias lembaga pemberi pinjaman terakhir apabila terjadi krisis likuiditas. Problem ini sudah diidentifikasi sejak 16 tahun yang lalu, yaitu ketika kongres BMT pertama diadakan pada tahun 1996. Sampai saat ini nampaknya belum ada realisasinya, baik dari kalangan pemerintah maupun BMT sendiri. Selain itu kelebihan likuditas juga tidak teratasi jika tidak ada pasar uang bagi BMT.

Kelima, teknologi. Hal yang paling tertinggal dalam koperasi syariah/BMT adalah masalah teknologi, meskipun secara mendasar, hampir tidak ada koperasi syariah/BMT yang tidak menggunakan tekonologi komputer saat ini. Akan tetapi untuk yang besar, mereka terpaksa harus gigit jari. Ambil misalnya yang paling sederhana dan mudah dilihat masyarakat seperti ATM (Automatic Teller Machine). Bank-bank baik konvensional maupun syariah dengan mudah melakukan investasi dalam jaringan ini karena besarnya modal yang dimiliki. Atau dengan mudahnya masuk dalam jaringan ATM bersama karena kemampuan untuk membayar biaya bulanan atas jaringan yang digunakan.

Keenam, badan hukum BMT. Lembaga keuangan mikro itu adalah kumpulan dari orang-orang yang bermufakat untuk mengumpulkan modal untuk disalurkan kepada anggota, maka seharusnya badan hukum yang tepat adalah koperasi. Bank Indonesia sangat mendorong agar BMT dialihkan menjadi bank (BPR Syariah). Namun di bawah UU Perbankan, BMT akan membutuhkan modal yang lebih besar untuk dapat beroperasi, dan hal ini akan mempercepat penggabungan beberapa BMT. UU Perbankan juga mengharuskan pengelolaan secara modern yang berarti para manajer perlu melalui ujian-ujian tertentu. Banyak BMT baru dan kecil tidak mempunyai sumber daya finansial yang memadai untuk memberi pelatihan bagi para pegawainya guna mencapai standar yang dibutuhkan. Maka dari itu, mengatur  BMT  dengan  dasar-dasar  hukum  perbankan  yang  sudah ada kemungkinan akan membunuh BMT secara perlahan-lahan.

Baitul Maal wat Tamwil atau Baitut Tamwil?

Ada kecenderungan BMT mulai mengurangi porsi kegiatan “baitul maal”. Sehingga kegiatan yang dilakukan lebih banyak berkutat pada “baitut tamwil” saja. Misalnya, TAMZIS. BMT yang beroperasi di Wonosobo sejak tahun 1992 tersebut pada awalnya mempunyai bagian baitul maal. Namun, para anggotanya kesulitan membedakan antara pinjaman bukan untuk mengejar keuntungan (skema Qardhul Hasan) dengan kontrak-kontrak lainnya yang bertujuan mendapatkan keuntungan. Banyak orang yang beranggapan bahwa mereka  tidak wajib membayar kembali pinjamannya. Untuk memecahkan masalah ini, TAMZIS menghapus baitul maal dan memusatkan perhatian pada penyediaan pinjaman-pinjaman bagi pembiayaan mikro. Oleh sebab itu, TAMZIS menyebut dirinya baitut tamwil dari pada BMT. Excuse semacam ini mungkin bisa dimaklumi. Akan tetapi hal tersebut akan menjadi tidak etis jika dilakukan oleh BMT semata-mata karena ingin mengejar keuntungan lebih dan enggan untuk menjalankan fungsi sosialnya.

Ada BMT yang jalan di tempat?

Ada. Kalau contoh BMT yang sukses adalah BMT MMU (Pasuruan), BMT UGT (Pasuruan), BMT Beringharjo (Jogja), BMT TAMZIS (Wonosobo). Maka ada juga beberapa contoh BMT yang sulit berkembang dan jalan di tempat.

Pertama, BMT Madani (Jogja). BMT yang mengalami kegagalan karena kerugian yang diderita akibat kerugian dari mengembangkan unit bisnis retail. Bisnis ecerannya tidak berkembang dan pada saat yang sama pembayaran kembali dari para anggotanya juga mulai menurun. Menyaksikan hal tersebut anggota-anggota lain segera menarik dana simpanannya yang pada akhirnya mengakibatkan kebangkrutan BMT ini.

Kedua, BMT Maskumambang. BMT yang dimulai dari komunitas pesantren tersebut dimulai dengan dana awal sebesar Rp. 3.000.000,-. Satu setengah dekade setelah pendiriannya, BMT ini hanya mempunyai total aset sebesar Rp. 25.000.000,- yang sebagian besar (Rp. 18.000.000,-) masih menjadi tunggakan karena para peminjamnya tidak mempunyai kemampuan untuk membayar kembali. Kurangnya komitmen para pengelola dan pengaturan mekanisme pembiayaan yang buruk berkontribusi pada buruknya kinerja BMT tersebut. Contohnya, peminjam dana tidak diwajibkan menyediakan jaminan. Akibatnya, ketika nasabah gagal mengembalikan pinjamannya, BMT tersebut tidak dapat melakukan apa-apa untuk menarik pinjamannya.

Ketiga, BMT SMS Pacul Gowang. BMT ini dimulai dengan dana Rp.  78.000.000,-  dan dalam waktu  tiga tahun mampu meningkatkan  asetnya  dengan  sangat  pesat  menjadi  Rp.  500.000.000,-.  Sebelum  memulai BMT ini,  para  pengelolanya  mendapat  pelatihan  dari  BMT  MMU Sidogiri. Lembaga ini juga menerima pelatihan teknis dari lembaga-lembaga lain. Namun demikian, pertumbuhan dan peluang bisnisnya di masa depan terbatas karena BMT SMS Pacul Gowang enggan memperluas bisnis di luar wilayahnya karena kekurangan sumber daya  manusia dan tidak mampu mampu  menggunakan jaringan alumni. (VicVen)

Materi Diskusi Rutin Ekonomi Islam (Direksi) AcSES FEB UNAIR – 29 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar