Perseteruan Iran dengan Amerika Serikat terus berlangsung. Bahkan,
awal 2012, AS mengeluarkan sanksi ekonomi bagi Iran. AS tentu saja
berharap sanksi ini dapat melemahkan perekonomian Iran dan menghentikan
program pengembangan senjata nuklir mereka. Iran menjawab ancaman itu
dengan mengancam balik, yakni menutup Selat Hormuz yang merupakan salah
satu jalur utama distribusi minyak dunia. Ancaman ini tentu saja ditanggapi AS sebagai undangan perang.
Dampak terhadap Perekonomian Global
Pertama,
embargo ekonomi terhadap dari AS dan EU ditanggapi Iran dengan sangat
keras pula, sehingga Parlemen Iran membuat undang-undang larangan ekspor
minyaknya ke Eropa secara permanen. Menurut Ketua perusahaan minyak
Iran, Ahmad Qalehbani sekiranya embargo minyak mentah yang diterapkan EU
dan sekutunya AS mulai efektif, maka diperkirakan harga minyak di
pasaran Internasional akan melambung tinggi harganya,berkisar antara 120
sampai 150 dolar AS per barelnya. Karena ekspor minyak Iran setiap
harinya sekitar 2,2 juta barel, yang sangat di rasakan oleh masyarakat
Eropa sekiranya Iran sebagai negara produsen minyak terbesar kedua di
OPEC. Akan tetapi, rupanya Arab Saudi bersedia meningkatkan pasokan
produksi sehingga bisa sedikit mengurangi beban harga yang harus
ditanggung.
Sanksi tersebut kelihatannya juga tidak
mengkhawatirkan Iran. karena negara raksasa ekonomi asia justru menolak
ajakan paman Sam. Dan di perkirakan negara-negara Asia seperti China,
Korea selatan dan India akan mudah mendapatkan minyak Iran dengan harga
murah yang selanjutnya bisa di jual kembali dengan harga tinggi kepada
EU. Sementara itu Jepang yang sepaham dengan Amerika Serikat dalam
persoalan terkait Korea Utara, menyatakan tidak bisa mengikuti jejak
Amerika menghentikan impor minyaknya dari Iran.
Kedua,
penutupan selat hormuz yg merupakan pintu gerbang keluar-masuknya kapal
tanker minyak yang lalu lalang di Teluk Persia akan menggangu distribusi
minyak dunia. Menurut Lembaga Administrasi Informasi Energi AS, 20
persen minyak yang diperdagangkan pada 2011 didistribusikan lewat Selat
Hormuz. Saudi Arabi, Kuwait, Irak, dan negara teluk lainnya menggunakan
selat ini sebagai pintu ekspor minyak mereka. Tidak lain tujuan utamanya
adalah negara-negara pemakai minyak terbesar yakni Eropa dan Amerika.
Jika itu benar-benar dilakukan Iran, maka pasokan minyak ke luar Teluk
pasti macet dan bisa-bisa mengancam harga minyak dunia.
Ujung-ujungnyanya perekonomian Eropa dan AS akan terganggu.
Selat tsb bisa ditutup kapan saja dan kapal-kapal tanker tidak akan
bisa melintasi Teluk Persia. Apa akibatnya? Tentu bukan asing lagi di
telinga kita karena dunia akan kekurangan lebih dari 20 juta barel
minyak/hari, kenaikan minyak 2-3 kali lipat dan akan menembus level US$
250/barel. Siapa yang dirugikan? Tentu negara-negara Teluk yang tidak
bisa mengekspor minyaknya, Amerika, dan hampir seluruh negara di dunia
akan krisis minyak. AS pun harus menghitung resistensinya terhadap supply
minyak dunia yang sebagian besar mereka sendiri yang mengkonsumsi. Saat
ini OECD hanya menguasai 6.6%, OPEC 77.2%, Non OPEC 13.6%, Eropa 0.5%,
dan negara-negara bekas Uni Soviet 2.1% yang menguasai minyak dunia.
Iran sendiri mengkontribusi hampir 12% di OPEC dan bisa jadi mereka akan
bekerjasama dengan Venezuela yang juga rival AS untuk menggoyang minyak
dunia jika tekanan terus dilakukan kepada Iran.
Ketiga,
pertumbuhan penjualan senjata. Iran melakukan uji coba rudal di dekat
Hormuz, yang masih menjadi wilayahnya. Lalu berkembang isu yang
dihembuskan Amerika Serikat bahwa uji coba rudal Iran berpotensi
mengancam negara di sekitarnya sambil menawarkan mesin perang sebagai
upaya mempertahankan diri. Jelas, AS di sini memanfaatkan situasi untuk
menyulap provokasi jadi duit, yakni jualan senjata. Sebenarnya Israel
juga resah dengan sikap AS yang hendak menjual senjata ke negara-negara
Arab sekitar Iran. Tetapi Israel kemudian tenang setelah dibujuk oleh AS
bahwa senjata yang dijual ke negara-negara teluk tidak sebanding dengan
kualitas senjata untuk angkatan bersenjata Israel. Di sini, sebenarnya
motif Amerika Serikat adalah terus jualan untuk memulihkan ekonomi
mereka. Locheed Martin bisa panen untung besar.
Dampak terhadap Indonesia
Terkait
dengan konflik ini, perdamaian tentunya menjadi keinginan negara-negara
berkembang sebagai negara yang mungkin menjadi korban jika Iran menutup
Selat Hormuz. Indonesia merasa terancam dengan kondisi ini. Indonesia
sudah beberapa kali menghadapi fluktuasi harga minyak akibat tidak
menentunya kondisi keamanan internasional. Ketergantungan terhadap
minyak bumi menjadi penyebab dari penolakan Indonesia terhadap konflik
keamanan di Selat Hormuz.
Lebih dari 85% dari minyak mentah yang keluar dari selat Hormuz
dikirim ke negara-negara Asia dimana Indonesia adalah salah satu negara
tersebut. Yup, betul sekali, ternyata minyak mentah yang diolah di
Cilacap adalah minyak impor yang harus dibeli dari negara lain. Sebuah
kejutan yang sangat tidak menggairahkan memang mengetahui kalau republik
tercinta ini merupakan salah satu negara yang miskin minyak. Siapa pula
yang mengajarkan kepada kita bahwa Indonesia kaya minyak sampai-sampai
masyarakatnya berhalusinasi kalau kita adalah negara minyak? Tidak ada
negara kaya minyak yg mengimpor minyak sampai 600 ribu barel/hari.
Akan halnya INDONESIA, sebaiknya kita berdo’a saja. Cukup minyak dunia naik sampai US$150 per barel, akan membuat price tag
Pertamax Rp 15.000/liter. Kalau naik sampai US$200 perbarel, mungkin
bisa Rp 25.000/liter. Dampak inflasinya pasti juga akan sangat besar
bagi perekonomian nasional. Apakah kita sudah siap?. Wallahu a’lam bis
showab. (VicVen)
Compiled from lots of sources...
(Materi Kajian AcSES FEB UNAIR, Jumat, 10 Februari 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar