Selasa, 29 Mei 2012

Kemelut di Selat Hormuz

Perseteruan Iran dengan Amerika Serikat terus berlangsung. Bahkan, awal 2012, AS mengeluarkan sanksi ekonomi bagi Iran. AS tentu saja berharap sanksi ini dapat melemahkan perekonomian Iran dan menghentikan program pengembangan senjata nuklir mereka. Iran menjawab ancaman itu dengan mengancam balik, yakni menutup Selat Hormuz yang merupakan salah satu jalur utama distribusi minyak dunia.  Ancaman ini tentu saja ditanggapi AS sebagai undangan perang.

Dampak terhadap Perekonomian Global

Pertama, embargo ekonomi terhadap dari AS dan EU ditanggapi Iran dengan sangat keras pula, sehingga Parlemen Iran membuat undang-undang larangan ekspor minyaknya ke Eropa secara permanen. Menurut Ketua perusahaan minyak Iran, Ahmad Qalehbani sekiranya embargo minyak mentah yang diterapkan EU dan sekutunya AS mulai efektif, maka diperkirakan harga minyak di pasaran Internasional akan melambung tinggi harganya,berkisar antara 120 sampai 150 dolar AS per barelnya. Karena ekspor minyak Iran setiap harinya sekitar 2,2 juta barel, yang sangat di rasakan oleh masyarakat Eropa sekiranya Iran sebagai negara produsen minyak terbesar kedua di OPEC. Akan tetapi, rupanya Arab Saudi bersedia meningkatkan pasokan produksi sehingga bisa sedikit mengurangi beban harga yang harus ditanggung.

Sanksi tersebut kelihatannya juga tidak mengkhawatirkan Iran. karena negara raksasa ekonomi asia justru menolak ajakan paman Sam. Dan di perkirakan negara-negara Asia seperti China, Korea selatan dan India akan mudah mendapatkan minyak Iran dengan harga murah yang selanjutnya bisa di jual kembali dengan harga tinggi kepada EU. Sementara itu Jepang yang sepaham dengan Amerika Serikat dalam persoalan terkait Korea Utara, menyatakan tidak bisa mengikuti jejak Amerika menghentikan impor minyaknya dari Iran.

Kedua, penutupan selat hormuz yg merupakan pintu gerbang keluar-masuknya kapal tanker minyak yang lalu lalang di Teluk Persia akan menggangu distribusi minyak dunia. Menurut Lembaga Administrasi Informasi Energi AS, 20 persen minyak yang diperdagangkan pada 2011 didistribusikan lewat Selat Hormuz. Saudi Arabi, Kuwait, Irak, dan negara teluk lainnya menggunakan selat ini sebagai pintu ekspor minyak mereka. Tidak lain tujuan utamanya adalah negara-negara pemakai minyak terbesar yakni Eropa dan Amerika. Jika itu benar-benar dilakukan Iran, maka pasokan minyak ke luar Teluk pasti macet dan bisa-bisa mengancam harga minyak dunia. Ujung-ujungnyanya perekonomian Eropa dan AS akan terganggu.

Selat tsb bisa ditutup kapan saja dan kapal-kapal tanker tidak akan bisa melintasi Teluk Persia. Apa akibatnya? Tentu bukan asing lagi di telinga kita karena dunia akan kekurangan lebih dari 20 juta barel minyak/hari, kenaikan minyak 2-3 kali lipat dan akan menembus level US$ 250/barel. Siapa yang dirugikan? Tentu negara-negara Teluk yang tidak bisa mengekspor minyaknya, Amerika, dan hampir seluruh negara di dunia akan krisis minyak. AS pun harus menghitung resistensinya terhadap supply minyak dunia yang sebagian besar mereka sendiri yang mengkonsumsi. Saat ini OECD hanya menguasai 6.6%, OPEC 77.2%, Non OPEC 13.6%, Eropa 0.5%, dan negara-negara bekas Uni Soviet 2.1% yang menguasai minyak dunia. Iran sendiri mengkontribusi hampir 12% di OPEC dan bisa jadi mereka akan bekerjasama dengan Venezuela yang juga rival AS untuk menggoyang minyak dunia jika tekanan terus dilakukan kepada Iran.

Ketiga, pertumbuhan penjualan senjata. Iran melakukan uji coba rudal di dekat Hormuz, yang masih menjadi wilayahnya. Lalu berkembang isu yang dihembuskan Amerika Serikat bahwa uji coba rudal Iran berpotensi mengancam negara di sekitarnya sambil menawarkan mesin perang sebagai upaya mempertahankan diri. Jelas, AS di sini memanfaatkan situasi untuk menyulap provokasi jadi duit, yakni jualan senjata. Sebenarnya Israel juga resah dengan sikap AS yang hendak menjual senjata ke negara-negara Arab sekitar Iran. Tetapi Israel kemudian tenang setelah dibujuk oleh AS bahwa senjata yang dijual ke negara-negara teluk tidak sebanding dengan kualitas senjata untuk angkatan bersenjata Israel. Di sini, sebenarnya motif Amerika Serikat adalah terus jualan untuk memulihkan ekonomi mereka. Locheed Martin bisa panen untung besar.

Dampak terhadap Indonesia

Terkait dengan konflik ini, perdamaian tentunya menjadi keinginan negara-negara berkembang sebagai negara yang mungkin menjadi korban jika Iran menutup Selat Hormuz. Indonesia merasa terancam dengan kondisi ini.  Indonesia sudah beberapa kali menghadapi fluktuasi harga minyak akibat tidak menentunya kondisi keamanan internasional. Ketergantungan terhadap minyak bumi menjadi penyebab dari penolakan Indonesia terhadap konflik keamanan di Selat Hormuz.

Lebih dari 85% dari minyak mentah yang keluar dari selat Hormuz dikirim ke negara-negara Asia dimana Indonesia adalah salah satu negara tersebut. Yup, betul sekali, ternyata minyak mentah yang diolah di Cilacap adalah minyak impor yang harus dibeli dari negara lain. Sebuah kejutan yang sangat tidak menggairahkan memang mengetahui kalau republik tercinta ini merupakan salah satu negara yang miskin minyak. Siapa pula yang mengajarkan kepada kita bahwa Indonesia kaya minyak sampai-sampai masyarakatnya berhalusinasi kalau kita adalah negara minyak? Tidak ada negara kaya minyak yg mengimpor minyak sampai 600 ribu barel/hari.

Akan halnya INDONESIA, sebaiknya kita berdo’a saja. Cukup minyak dunia naik sampai US$150 per barel, akan membuat price tag Pertamax Rp 15.000/liter. Kalau naik sampai US$200 perbarel, mungkin bisa Rp 25.000/liter. Dampak inflasinya pasti juga akan sangat besar bagi perekonomian nasional. Apakah kita sudah siap?. Wallahu a’lam bis showab. (VicVen)

Compiled from lots of sources...

(Materi Kajian AcSES FEB UNAIR, Jumat, 10 Februari 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar